Selasa, 05 Maret 2013

SEJARAH SENI PAPUA


By. SANGGAR SENI "SANERARO"
Gr. NIKO ASARIBAB, SH
SEJARAH SENI PAPUA 


A.   PENDAHULUAN
Papua adalah sebuah Nama yang diberikan Tuhan bagi Negeriku, Cenderawasih dan diberkati sebagai Taman Eden yang pertama, begitu indah dan mulia, hanya manusia-manusia yang merusaknya, sama halnya dengan Papua yang diganti dengan Irian.
Irian irtinya hangat, nama ini diumumkan pada tanggal 8 September 1945, oleh Wonggor Markus Kaisiepo, atas nama bangsanya menolak kata Papua, diganti dengan nama Irian. Di Papua inilah ibarat sorga yang terlantar. Artinya kekayaan alam, dan kekayaan seni budaya yang masih tersimpan dibumi Papua. Yang belum digali, dikelolah, dan dikembangkan serta dilestarikan. Disini pulalah terpendam bentuk-­bentuk kesenian rakyat yang perlu digarap kembali.
Sejarah telah mencatat bahwa dari zaman batu muda Papua. Sampai dengan tahun 1960, tidak begitu banyak yang diketahui tentang seni dan budaya Papua. Khususnya kita lihat di wilayah Papua bagian Utara, terdapat suatu kesenjangan atau kekosongan perkembangan kesenian Papua. Hal ini disebabkan tiga faktor penghambat, antara lain :
1.    Masa Peradaban Dan Perbudakan (tahuh 1365 – 1855
Masa pengayau dan  perbudakan di wilayah Teluk Saerera, Sorong sampai Fakfak (Onim), menyebabkan tidak ada ketenangan dari pemusnahan rumah-rumah adat (Rum Sram) yang digunakan sebagai pusat pendidikan kesenian.
“Het eiland Niew Guinea kwam voor het eerst binnen de ge zichtskring van de omliggende volken doorzjn Muskaatnoten en zijin “ Uit het verlenden, Dr. C. Kamma, blz 39 artinya :
Pulau yang bernama Niew Guinea untuk pertama kali di kenal oleh bangsa-bangsa sekitar pulau itu oleh sebab buah pala dan budaknya.
2.    Masa Transisi Kepercayaan Agama ( Tahun 1855 - 1960 ).
Dengan masuknya agama Nasrani tahun 1855, dan berkembang sampai tahun 1960, merupakan masa transisi kepercayaan agama adat, yaitu kepercayaan anemisme dan dinamisme, serta mitos Koreri, mitos Kuri-pasai, mitos Wokui-wesei) kepada kepercayaan agama Nasrani. Dari masa ini juga pemusnahan terhadap karya-karya seni yang ada hubungannya dengan magis religius.
Tidak ada penulisan tentang kesenian rakyat Papua walaupun pada waktu itu, sejak tahun 1826 sampai dengan tahun 1962 pemerintah Belanda, sudah sah memerintah di Papua.
Dengan adanya tiga faktor tersebut diatas, 
yang merupakan penyebab kekosongan dalam perkembangan kesenian rakyat, walaupun demikian masih diperoleh beberapa dukumen foto-foto tentang beberapa sisa bentuk-bentuk seni rupa tradisional Papua ini, lewat karya-karya para misionaris yang masa pengabdiannya melayani orang Papua dengan penuh cinta kasih. Pdt. Ronny, mengatakan bahwa mereka hidup dengan penuh ketakutan dalam alam kegelapan magis religius, tetapi tak pernah mereka kesepian dalam kesunyian, karena mereka menyanyi (wor) dan berdansa sepanjang masa seperti kebiasaan burung cenderawasih yang bernyanyi dan menari di setiap pagi dan petang. Benar juga syair yang berbunyi “Hidup tanpa seni, bagaikan hidup di tanah gersang”.

Dahulu kala seniman ukir dan pematung mempunyai peranan penting didalam masyarakat Papua yang magis religius. Didalam kehidupan bermasyarakat mereka mempuyai falsafah-falsafah hidup yang berkembang sendiri dimasyarakat Papua. Salah satu falsafah hidup yang di angkat disini, adalah: Manusia sejati, harus mempunyai rumah besar, kebun besar dan perahu besar. Penerapannya di dalam  kehidupan bermasyarakat, maka mereka yang memenuhi tiga hal tersebut diatas  berarti telah mencapai kemenangan hidup. Masalah tersebut merupakan ukuran kekayaan dan prestise. Dengan rumah besar dapat menerima tamu menginap, tamu tersebut tidak kelaparan karena ada makanan yang telah dipanen dari kebun besar, dan seandainya hubungan transportasi putus, bisa dipinjamkan perahu besar itu.
Jadi dengan adanya tamu yang datang menginap bisa tidur nyenyak, aman dan tidak kelaparan sampai kembali dengan selamat ditempat asalnya. Dengan demikian tokoh penyelamat tersebut diberi nama kehormatan Manswabye (orang berbudi baik) dan Mampapoik (orang kuat/perkasa yang diharapkan ).
Dengan adanya perahu besar dan rumah besar serta rum sram klein, maka kriyawan/seniman itu di minta untuk mengukir fek karerin pada bagian dekor dari perahu dan tiang-tiang rumah. Dan kalau ada anggota keluarga yang meninggal dunia, pengukir/pematung diminta untuk memahat sebuah Karwar, sebagai tempat bersemayam sang roh si peninggal.
Dengan kerja seniman itu dibayar dengan piring porselin, gelang logam (parak), gelang siput (samfar), makanan dan parang. Pembayaran ini berbentuk natura.  Para seniman ini disegani didalam masyarakat, karena pada umumnya mereka mempunyai rumah besar, perahu besar dan keahlian mengukir ini merupakan suatu mata pencaharian.
B.   SEJARAH BUDAYA
Dalam sejarah perkembangan peradaban masyarakat dunia, dan daerah Biak Numfor pada khususnya dan Papua pada umumnya di masa silam seolah-olah sebagai tanah yang terlupakan. Sejarah modernisasi,  baru dimulai pada abad ke-19, sesudah 20 tahun agama Nasrani masuk di Tanah Papua pada tanggal, 5 Februari 1855.
Dalam perjalanan sejarah, daerah Biak pertama kali di singgahi oleh De Menesez, pelayar Portugal, kandas di biak utara pada tahun 1526, lalu menamai pulau ini 
I Has Dos Papuas (pulau-pulau orang papua). Papuas artinya orang berambut keriting. Kemudian di susul oleh Yni Go Ortits de Retez ke Papua pada tahun 1545 dan menobatkan Papua menjadi milik mahkota Spanyol denngan nama “Nova Guinea”.

Sejak abad ke-16, orang biak sudah ada hubungan dengan dunia luar. Mereka sudah mengenal dan menggunakan benda-benda porselin dan besi, sehingga mereka menempah parang dan tombak dan mereka menghayau di pesisir pantai utara Papua. Walaupun sudah ada hubungan dengan dunia luar, mereka tetap hidup dalam dunia ketakutan akan Roh-Roh orang mati. Mereka menganggap orang kulit putih atau orang barat yang datang di Biak, adalah orang-orang dari dunia Roh, yang telah merubah bentuk atau rupa mereka dan hidup di dunia kasat mata. Dengan pendapat ini, mereka tidak menerima orang Spanyol tinggal di Biak, walaupun menerima barang-barang dari mereka.
Pada abad ke-16, orang biak dikenal sebagai pelaut dan reputasi mereka sebagai bajak laut yang kejam, selalu menghayau penduduk pantai utara papua, mereka menangkap orang-orang di daerag Onim (Fak-fak dan Sorong) dan di jual sebagai budak di ternate, Badar Bugis Makassar, dan sampai pada masa tanam paksa di Maluku.
Dari jiwa petualang ini, mereka selalu memintakan kekuatan dan perlindungan dari Roh-Roh arwah moyang mereka lewat Patung Karwar yang dibawa kemana-mana. Namun masa kejayaan Patung Karwar itu kini tinggal nostalgianya saja, sebab sejak agama Nasrani berkembang di Papua pada 5 Februari 1855, jiwa petualangan Suku Biak Numfor sedikit demi sedikit di jinakkan, yaitu medan pekabaran Injil di daerah-daerah pesisir dan pedalaman Papua.
Fanatisme mereka terhadap agama baru (Nasrani) itu tidak tanggung-tanggung. Dan atas dorongan dan kemauan sendiri, mereka memusnahkan rumah-rumah adat (Sram-Ram/Rum Sram) termasuk patung-patung Karwar, dalam waktu relatif singkat patung-patung Karwar hilang dan musnah dari dunia peredarannya.
Produksinya berhenti dan macet. Ada patung Karwar yang dijual sebagai budak kepada orang lain, dan sebagian yang tidak sempat di bakar di boyong ke negeri Belanda dijadikan sebagai benda-benda atau warga mesium di sana. Misteri patung Karwar ini, tidak pernah terungkapkan lagi. Para ahli lalu mengkritik teror kebudayaan yang dilancarkan para pendeta, tetapi kritik mereka tidak pernah di utak-atik karena orang biak sendiri telah memusnahkannya dan menutup mulut untuk memberi informasi terhadap usaha penelaan budaya di daerah Tanah Papua, karena takut disebut kafir lagi.
Pada tahun 1960 sampai sekarang misteri patung Karwar mulai diminati, digali kembali dan diangkat sebagia warisan budaya dan tidak berfungsi lagi sebagai patung pemujaan Roh, tetapi berfungsi sebagai hiasan interior dan komersial.

C.   PEMBAGIAN WILAYAH GAYA SENI DI PAPUA
PAPUA yang terdiri atas 250 suku besar, yang terbagi lagi menjadi 225 sub suku dan 114 bahasa daerah yang berbeda-beda serta iklim dan luas geografi yang turut mempengaruhi perkembangan kesenian di daerah ini sehinggal terdapat banyak fariasi, keunikkan, corak dan ciri khas tersendiri.
Pada tahun 1936, Tuan F. Speiser, melakukan penelitian pertama dengan membembedakan dua wilayah gaya seni, yaitu wilayah gaya seni Teluk  Gelvink/Saerera (sekarang Teluk Cenderawasih) dan wilayah gaya seni Barat daya. Telaan kedua oleh A. A. Gerbrands, dengan menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Olbrecht, terhadap kesenian Afrika. Dengan membagi kesenian rakyat di Papua menjadi tiga wilayah gaya seni, antara lain:
1.    Kesenian gaya teluk gelvink ( Saerera )
Pembagian kesenian yang di wilayah ini menyebar dari pulau Waigeo, sebelah barat Papua sampai ke daerah Mamberamo Timor, wilayah ini meliputi : Mamberamo, Kumamba, Kurudu, Yapen, Biak, Supiori, Numfoor, Pulau Moor Wondama, Manokwari, Amberbaken, Pulau Waigeo dan Sebelah Utara Pulau Batanta dan Salawati.
2.    Kesenian Gaya Barat Daya (Asmad)
Kesenian di wilayah ini, meliputi : daerah mimika, mulai dari pesisir selatan teluk Etna di sebelah Barat sampai ke sungai Otakwa di sebelah Timur, dan daerah Asmad.
3.    Kesenian Gaya Teluk Humbolt – Sentani
Kesenian wilayah ini terdiri dari dua sub daerah, yakni Daerah Pantai Utara, mulai dari sungai Mamberamo sampai perbatasan Papua Niguni, dan Daerah sekitar danau Sentani. Berdasarkan pembagian kesenian menurut wilayah gaya seni, tersebut diatas maka ragam hias Papua, digolongkan sebagai berikut :
a.    Ragam hias Karerin, terdapat di wilayah Teluk Saerera.
b.    Ragam hias Asmad, terdapat di wilayah Barat Daya.
c.    Kagam hias Tabi, terdapat di wilayah Jayapura – sentani.
Secara potensial kehidupan masyarakat di tanah Papua, terdapat dalam 4 kawasan yang dominant yaitu :
1.    Masyarakat di pesisir pantai dan pulau-pulau.
2.    Masyarakat di aliran sungai dan rawa-rawa.
3.    Masyarakat di kawasan tanah datar (marginal)
4.    Masyarakat di daerah pegunungan/dataran tinggi.
Sedang pola kehidupan masyarakat pada umumnya dapat dibedakan berdasarkan pola pemukimannya. Setiap pola pemukiman umumnya memiliki corak dan tata kehidupan tersendiri. Baik sosial ekonomi maupun sosial budayanya. Berdasarkan sumber kehidupan masyarakat di tanah Papua dapat di klasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu :
1.    Golongan masyarakat yang berbudaya air (aqua cultuur)
2.    Golongan masyarakat berbudaya peladang/petani (agricultuur)
3.    Golongan masyarakat marginal yang hidup dari kedua-duanya/campuran.
Konsepsi yang mendasar untuk dapat mengetahui interelasi budaya dasar masyarakat Papua adalah mempedomani pada teori pembagian wilayah berdasarkan data materi budaya yang telah ditandai oleh para peneliti bahgsa Barat seperti Konsep tentang Culture Proviencies (J.G.Held. 1951 dan konsep tentang Art style area/Wilayah Gaya Seni ( A.A.Gerbrand.1979 ), yang sejauh ini masih dapat diterima.
Secara global konsep tersebut dapat dikatakan telah dapat memberikan pandangan secara umum mengenai corak seni dan budaya Papua pada umumnya. Atas pertimbangan serupa yang diperluas dengan pengalaman empiris dan intuisi cultural terhadap elemen-elemen budaya, terutama keseniannya, maka budaya Papua cenderung untuk dapat dikelompokkan menjadi Wilayah Budaya dengan beberapa divisi-divisi budayanya sbb.
1.    Wilayah Budaya Sarera (Teluk Sarera/Geelvink) meliputi Divisi budaya sbb :
a.    Divisi Budaya Biak (Biak Numfor, Pantal Utara Kepala Burung dan Kep. Raja Ampat.
b.    Divisi Budaya Yapen meliputi seluruh Pulau Yapen pada umumnya.
c.    Divisi Budaya Waropen (Tarunggare, Waropen, Weinami, Kaybi Ambuni).
d.    Wondama Wamesa : Manokwari, Nabire, Fakfak, Kaimana, Bintuni dan Teluk Arguni.
2.    Wilayah Budaya Bomberai-Dobeirai
a.    Divisi Budaya Onin Kapaur : meliputi Kokas dan Fak-fak pada umumnya.
b.    Divisi Ogit-Bira-Arandai Sorong, Inanwatan dan Teminabuan.
c.    Divisi Laganyam Matbat : Wilaya Kepulauan Raja Ampat pada umumnya.
d.    Divisi Mejakh dan Hatam Manokwari Kebar Ransiki dan Anggi.
3.    Wilayah Budaya Pantai Selatan
a.    Divisi budaya OK dan Komoro : Fakfak, Mimika, Mindiptanah, Algats, Atsy, Eldera, Okbibab dan Iria Asinara.
b.    Divisi Budaya Fly-Maro : Merauke Okaba, Kepi Muting dan Kimam.
4.    Wilayah Budaya Pantai Utara
a.    Divisi budaya Tabi : Nimboran, Kemtuk gresi, Youtefa dan Skouw.
b.    Divisi budaya Kerom : Arso, Waris, Lereh dan Senggi
c.    Divisi budaya Sobey dan Berik : Pantai Timur dan Thor
d.    Divisi budaya Israwa dan Airmati Pantai Barat dan Mamberamo hilir
e.    Divisi budaya Kwerba : Mamberamu Hulu/Atas dan Kasonaweja.
5.    Wilayah Budaya Pegunungan Tengah
a.    Divisi Budaya Mee : Pania pada umumnya dan Tembagapura
b.    Divisi Budaya Baliem/Dani : Kab Jayawijaya/ Lembah Baliem pada umumnya.
c.    Divisi Budaya Timoriti : Daerah Pegunungan Jayawijaya pada umumnya.
6.    Karakteristik Masyarakat Papua
Beraneka ragam budaya, ada 271 suku bangsa dan bahasa, yaitu :
a.    Biak                                 =     1       suku bangsa
b.    Fak-fak                            =     21     suku bangsa
c.    Jayapura                        =     88     suku bangsa
d.    Jayawijaya                     =     27     suku bangsa
e.    Manokwari                     =     19     suku bangsa
f.     Merauke                         =     43     suku bangsa
g.    Paniai                             =     21     suku bangsa
h.    Sorong                            =     23     suku bangsa
i.      Yapen Waropen            =     28     suku bangsa
Ket : sebelum ada pemekaran kabupaten-kabupaten dan provinsi.



D.   BENTUK DAN LATAR BELAKANG PENCIPTAAN PATUNG KARWAR

Sebelum dibicarakan bentuk visual patung Karwar, dijelaskan lebih dahulu bahwa suku Biak dan bagaimana konsep pikir mereka tentang religius, yang menyebabkan mereka  menciptakan dan membentuk patung Karwar.
1.    Suku Biak
Suku biak termasuk salah satu suku dari 250 suku di Tanah Papua. Orang Biak ini mendiami gugusan pualu-pulau Biak, Numfor, Supiori, Pulau-pulau Padaido, Micos Befondi yang terletak di muara Teluk Cenderawasih Pantai Utara Papua. Bahasa daerah yang digunakan adalah basaha Biak (Wos Byak). Penggunaannya dan pengucapannya relatif paling banyak di Papua.
Sejak dahulu orang Biak dikenal sebagai pelaut di patai utara Papua, mulai dari sungai mamberamo di sebelah timur pulau kumamba sampai daerah pantai Utara Papua bagian kepala burung dan ke pulau-pulau raja ampat paling barat, terdapat pemukiman atau perkampungan orang biak. Ini merupakan bukti dari sebuah sejarah petualangan di masa lampau.
Pelaut-pelaut biak bahkan pergi sampai Banda, kepulauan Tanimbar dan pulau Buru. Di dalam tulisan Dr. F.C. Kama, diuraikan bahwa : budak-budak yang dijual oleh orang biak, dipakai sebagai pendayung dan bekerja di perkebunan-perkebunan rempah-rempah di Banda. Tahun 1824, kurang lebih 70 kapal perampok yang memakai penduduk asli Papua sebagai Budak atau pendayung dan diketahui berada di perairan Banyuwangi (Jawa Timur. 46).
Orang biak mengadakan hubungan kontak teratur dengan kesultanan Tidore, mereka memperoleh 
gelar-gelar penghormatan yang dulu diterima, dan selanjutnya di gunakan sebagai nama-nama marga/ keret antara lain : Kapten laut menjadi Kapitarau, Kapitan (Kapisa), juru bahasa (Urbasa), Sangaji (Sanadi), Gimala (Dimara) dan Mayor tetap Major.

Sekembalinya dari Ternate, banyak yang tidak sampai di Biak, tetapi ada yang membuat pemukiman baru di Kepulauan Sorong, Raja Ampat, bahkan ada yang mempunyai perkampungan di Ternate dan Tobelo (Maluku).
Sub Suku yang imigran ini antara lain Suku Sopen, Sub Suku Sowek, dan Sub Suku Wardo yang menetap di pulau-pulau Raja Ampat, yang kemudian jadi Sub Suku Ayau dan Beteu. Sedangkan yang imigran ke Ternate, adalah Sub Suku Samber dan Sub Suku Manwor.
Nama-nama Sub Suku Biak (Mrga Besar), yang dapat di bagi menurut tradisi dan ragam bahasa Biak, antara lain :
a.    Sub Suku Sopen
b.    Sub Suku Samber
c.    Sub Suku Sowek
d.    Sub Suku Marin
e.    Sub Suku Mandender
f.     Sub Suku Manwor
g.    Sub Suku Numfor
h.    Sub Suku Wadibu
i.      Sub Suku Wardo
j.      Sub Suku Beteu
k.    Sub Suku Ayau
Sub-sub Suku Biak ini mempunyai logat/ragam bahasa dan intonasi bahasa yang jauh berbeda tetapi bahasanya hanya satu yaitu bahasa Biak. Memang ada satu dua kata yang berbeda pengertian dan juga ada benda-benda yang terdapat dua tiga nama, hal tersebut memperkaya tata bahasa Biak. Pengertian kata-kata di jumpai dalam benda atau atribut yang digunakan dalam upacara Adat atau upacara Karwar, misalnya ukiran suluran pada puncak kepala patung : Fek-kir, Kun-kir/Kung-gir, Pisau Pengukir, Inoi, Famaras.

2.    Konsep Religi Orang Biak
Dalam uapaya memahami beberapa aspek kepercayaan yang menjadi dominan thema di dalam seluruh sistem kepercayaan religi orang Biak, maka thema-thema tersebut antara lain :
a.    Kepercayaan Roh orang mati (Karwar)
b.    Roh-Roh penghuni Alam Semesta
c.    Penyembahan Matahari
d.    Kepercayaan Mitos Koreri
e.    Kepercayaan Manseren Nanggi

a.    Kepercayaan Roh Orang Mati (Karwar)
Konsep kepercayan Karwar, begitu mendasar pada orang Biak masa lampau sehingga mereka menciptakan suatu bentuk patung  yang disebut Amfianir/religius Karwar untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal.
Mereka berpendapat bahwa manusia itu mempunyai satu tubuh dan dua Roh, yaitu jasmaniah (baken saprop), Roh (Rur) dan bayangan Roh (Nin).
Seseorang yang masih hidup berarti jasmaniah, ruh dan Nin menjadi satu, apabila saat kematian seseorang berarti jasmaniah akan rusak dan dipindahkan ke suatu tempat khusus yang disebut Yen Aibui (dunia jasat). Yen Aibui adalah tempat orang mati akan dibangkitkan dari kematian atau Yen Aibui sebagia pintu masuknya Roh (Rur) dan Nin untuk bertemu kembali dengan jasat yang akan bangkit kembali dalam bentuk yang baru.
Kebangkitan yang dibawah oleh Manseren Koreri, saat orang mati, Roh (Rur) akan pergi bersemayam di dunia Roh (Sup Romowi) di Nanggi (Langit) nan jauh di sana, sedangkan bayangan Roh (Nin) berdiam di alam Karwar bersama orang hidup, dengan demikian orang Biak membuat patung menyerupai orang hidup sebagai tempat berdiam Nin, sehingga Nin tidak berkeliaran bersama dengan orang hidup diantara anggota keluarga mereka. Dan untuk menjaga hubungan kekeluargaan ini, maka upacara Adat (Ritus) merupakan faktor penting. Mereka percaya bahwa Roh Karwar/arwah-arwah ini memberi kekuatan untuk menjaga keluarga, memelihara kebun, dan mendatangkan hujan, menjauhkan penyakit, dan juga menyusahkan, menyakiti, dan menakut-nakuti  orang yang masih hidup.
Jadi apabila seseorang mengalami bencana atau penyakit, ide pertama yang muncul di pikiran mereka ialah yang bersangkutan telah menyimpang dari tatanan spiritual, sebaliknya seseorang yang berhasil dalam usaha/hidupnya karena mengadakan hubungan kontak dengan dunia Karwar. 
b.    Roh-Roh Penghuni Alam Semesta
Orang biak di masa lampau sangat kuatnya menganut kepercayaan bahwa ada roh-roh lain di alam semesta ini, yaitu roh-roh penghuni gua, pohon besar, sungai, gunung, di dalam tanah dan di dalam laut (Faknik, Nabi), Manwen yaitu Suanggi, hantu laut dll.
Jika seseorang mengalami suatu penyakit yang berat, maka orang itu telah menyimpang dari tatanan spiritual sehingga roh Karwar dan Menseren Nanggi tidak melindungi, maka roh-roh jahat, suanggi dan nabi/hantu laut membawa bayangan roh (nin) orang sakit tersebut untuk disembunyikan di gua-gua, di pohon besar, di dasar laut, sehingga perlu suatu upacara Roh Karwar, dan yang bisa berbicara kepada roh-roh jahat/suanggi-suanggi dan nin adalah Mon (Dukun) dengan segala kekuatan mantra/ilmunya. Sebelum mengobati si sakit, Mon meramal (Kyinsor) sebab-sebab si sakit kemudian dilanjutkan dengan pengobatan tradisional termasuk baca mantra-mantra kemudian memberikan larangan-larangan yang di taati selam pengobatan.
c.    Penyembahan Matahari (Fan Ori)
Pandangan orang Biak di masa lampau tentang siang dan malam merupakan dua kuasa yang saling berlawanan, yakni kuasa yang baik dan kuasa yang jahat. Kedua kuasa ini berusaha menguasai manusia, kuasa yang baik berkedudukan di sebelah timur, dengan bentara atau pesuruhnya, sedangkan kuasa yang jahat (kegelapan) disebelah barat dengan pengawalnya.
Jika siang di kalahkan malam, maka manusia akan mengantuk dan tidur sehingga malam dengan kegelapannya merupakan lambang penguraian bagi tubuh manusia, Rohnya (Rur) dan Nin. Tetapi jika malam dikalahkan siang, maka siang dan matahari (ori) adalah lambang persatuan tubuh Roh dan Nin. Dimana manusia dapat bangun dari tidurnya kembali karena ada penguasa Matahari (Kon-Ori) mempersatukan kembali.
Pertentangan antara siang dan malam merupakan inti dari pada religi nenek moyang orang biak, untuk menyembah “konor matahari” dengan mengadakan “Pesta memberi makan kepada Matahari” yang disebut “Fan-Ori”. Mereka membawa makanan dan dipersembahkan kepada Matahari, agar matahari mendatangkan kemakmuran, kekuatan, keseburan. Dalam doa-doa di mohon Matahari memberikan sinarnya untuk kesuburan tanah ladangnya, memberi tenaga, kekuatan bagi orang yang mencari nafka di darat dan di laut.
Penguasa Matahari disebut “Konor”, kata konor terdiri dari Kon artinya Penguasa Besar (Penunggu) sedangkan kata Or artinya Matahari dan kekuatan gaib/kuasa. Jadi nama dewa matahari disebut “Konori” yang memiliki kekuatan gaib yaitu mengeluarkan sinar dan panasnya.
d.    Kepecayaan Mitos Koreri Biak
Koreri adalah suasana atau keadaan penuh dengan kegembiraan, kedamaian, kebahagiaan 
dan kesejahteraan (KandoMoboser). Mereka mendambakan sistem masyarakat yang ideal, dimana di dalamnya tidak ada kemiskinan, penderitaan, sakit-penyakit, pemerasan, tekanan sosial budaya dan politik bahkan tidak ada kematian. Untuk mencapai impian tersebut hanya melalui ritus-ritus keagamaan, yaitu Koreri.

Wor Koreri/Munara Koreri, upacara ini adalah suatu upacara adat yang kompleks yang jarang terjadi, dan terdiri dari banyak bagian yang di dalamnya orang banyak menyanyi dan menari dalam berbagai gerak Tari Wor Adat.
Upacara Adat Wor Koreri diadakan selama 
4 – 8 malam, setiap malam orang biak berganti-ganti menyanyi (Wor) yang jenisnya adalah :

1.    Beyuser Koreri (lagu yang mengandung cerita Koreri)
2.    Do’Erisam (lagu yang dinyanyikan sekitar jam 10.00 malam, lagu yang menceritakan tokoh Koreri)
3.    Do’Beba (lagu yang dinyanyikan tengah malam sambil menari tari kemenangan)
4.    Do’Sandia (lagu yang dinyanyikan untuk rumah, tempat menampung orang mati yang bangkit kembali saat jalannya Wor-Koreri)
5.    Kayob Kumeseri (lagu yang dinyanyikan menjelang subuh, merupakan lagu ratapan menyanyi sambil memanggil roh arwa keluarga yang telah meninggal. Lagu ratapan perkabungan.
Tokoh nenek moyang mereka yang akan mendatangkan Koreri, adalah Mansar Manggundi/ Manseren Koreri (Tuhan Koreri), mereka yakin dan percaya suatu saat Koreri akan datang dengan segala kemakmuran dan kesejahteraannya yaitu (Koreri Kando Mob Oser).

e.    Kepercayaan Kepada Manseren Nanggi
Orang biak percaya ada Tuhan di langit (Manseren Nanggi) yang mempunyai segala kekuatan, dan yang dapat memberi kehidupan, memberi kesejahteraan, kemakmuran dan hikmat.
Upacara adat ini di adakan pada saat terjadinya bencana kelaparan (Angakori). Upacara tersebut bersifat umum. Semua Klen dari kampung-kampung ikut ambil bagian dalam upacara tersebut. Yaitu upacara “Wor Fan Nanggi/ Munara Fan Nanggi.
Wor Fan Nanggi (upacara memberi makan, memberi sesajen kepada Manseren Nanggi (Tuhan di langit) dan upacara ini adalah upacara khas Biak, namun upacara tersebut di lakukan juga di berbagai tempat lain di Papua dan Van Hasselt melihatnya pertama kali di Pulau Mansinam yang dilakukan oleh orang-orang Biak.
Mereka membuat sebuah para-para/panggung persembahan (Sandia), di atas panggung di hidangkan makanan dan sesajen yang berupa hasil kebun dan di bawah panggung di letakkan alat pertanian, alat berburu, dan alat mancing ikan. Seperti Adaf, Sumber, Bome, Pandai, Sarfer, Manora, Mgan.
-       Adaf yaitu kayu penanam, keladi, kasbi, betatas dan bete dan tanaman lain
-       Sumber yaitu parang
-       Mgan yaitu kapak
-       Bome yaitu tombak
-       Pandai yaitu senapan molo ikan
-       Maryai-ikoi yaitu anak panah dan jubi
-       Sarfer yaitu nyimu/nilon dan mata kail
-       Manora yaitu kalawai
Di atas panggung (Sandia) berdiri pemimpin upacara (Mon) dengan kepala menengada ke langit dan mengangkat kedua tanggannya serta memanggil : “Oh Manseren Nanggi, berilah, berilah jawaban, jawablah saya, kemanakah engkau pergi, apakah engkau pergi jauh ?. Manseren, engkaulah yang kami cari dan kami mohon datanglah padaku, bicaralah kepadaku, datanglah padaku ! “.
Apabila tangan pemimpin (Mon) yang di acungkan bergetar kesurupan dan jatuh, pertanda Manser Nanggi betul-betul turun dari langit dan akan memberi jawaban, dan akan dimengerti oleh pelaku pengantara dalam bentuk suara-suara yang di ucapkan Mon atau melalui penglihatan pada malamnya lewat peserta Wor (Upacara Adat).

E.   JENIS-JENIS PATUNG KARWAR
Kata Karwar dalam bahasa Biak berarti Roh orang mati. Patung Karwar di buat untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal dunia.
Sebetulnya nama yang tepat untuk menyebut patung kayu itu adalah “Amfianir” Kayu yang menyerupai, tetapi karena patung itu di anggap berisi Karwar (roh orang mati) maka patung tersebut telah populer dengan sebutan “Karwar” (Korwar).
Patung Karwar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : patung Karwar dan patung Opur Bukor. Amfianir (patung) Karwar adalah patung kayu yang dibuat untuk Nin (Roh Bayangan) dari golongan masyarakat biasa. Amfianir 
Opur Bukor adalah patung Roh yang bagian kepalanya besiri tengkorak dari orang-orang terkemuka atau khusus untuk para kepala suku dan ketua-ketua klen atau marga. Cara mengambil tengkorak dari beberapa daerah berlainan.

Dalam patung disediakan tempat terbuka untuk tengkorak. Tengkorak ini dapat dimasukkan dari belakang, dari atas kebawah atau dari depan. Kalau dimasukkan dari depan, tengkorak itu di pakai sebagai muka, sedangkan dalam hal yang lain muka itu harus di ukir dalam kayu (ukr. 50 cm).

F.    FUNGSI PATUNG KARWAR
Patung Karwar berkembang pada dua masa, sehingga fungsi patung Karwar di bedakan dalam dua periode, yaitu:
a.    Periode sebelum tahun 1875
b.    Periode sesudah tahun 1960
(F.C. Kama, Op. Cit.p.303).
Periode pertama sebelum tahun 1875, adalah periode orang Biak masa lalu yang masih percaya akan kekuatan dan kehadiran Roh Nenek Moyang. Periode sesudah tahun 1960, merupakan fase/masa kehidupan kembali patung Karwar. Karena sekitar 100 tahun patung Karwar hilang dan punah dari pembuatan dan peredarannya akibat pengaruh agama “Nasrani”..

G.   FUNGSI PATUNG KARWAR PADA PERIODE PERTAMA 1875

a.    Sebagai patung peringatan anggoa keluarga yang telah meninggal.
b.    Sebagai tempat bernaungnya (bersemayamnya) Roh Nenek Moyang / orang meninggal.
c.    Sebagai simbol penyatu rasa kekeluargaan yang erat pada upacara-upacara Karwar.
d.    Sebagai pelindung, untuk diminta nasihat, menyertai perjalanan dalam pelayaran, memberi kesuburan, menjauhkan penyakit, menyertai perburuan di darat dan di laut.
e.    Sebagai pusat Roh moyang / Karwar yang merupakan pusat perhatian religius.

H.   FUNGSI PATUNG KARWAR PADA PERIODE KE DUA 1960

a.    Sebagai bahan ekspresi seniman untuk menciptakan bentuk-bentuk baru.
b.    Sebagai bahan untuk komersial/souvenir.
c.    Sebagai bahan untuk dekorasi interior ruang tamu dan di hotel-hotel dan kantor-kantor.
d.    Sebagai kekayaan seni budaya di mesium.
e.    Sebagai bahan penelitian budaya dan pendidikan.

I.      ARTI SIMBOLISASI PADA PATUNG KARWAR
Arti simbolisasi yang divisualisasikan dalam bentuk patung karwar,adalah sebagai berikut :
a.    Kepala patung karwar yang lebih besar dan silinders itu menyerupai tengkorak, yang melambangkan dunia orang mati.
b.    Mata kecil, ada beberapa patung yang matanya di isi manik-manik berwarna kuning dan putih atau dengan pecahan piring, patung itu harus di butai penglihatannya.
Hal ini merupakan arti simbol dari mayat orang meninggal yang ditutup matanya supaya tidak melihat dengan pandangan memanggil orang yang masih hidup untuk ikut ke dunia bawah (dunia orang mati).
c.    Patung yang duduk melipat kaki, simbolisasi dari mayat yang dilipat dan diikat erat-erat, supaya tidak menendang anggota keluarga lain untuk ikut meninggal.
d.    Patung yang tangannya menopang dagu adalah simbol seorang pemikir.
e.    Patung karwar tidak mempunyai alat kelamin, karena roh orang mati tidak berkembang biak dan alat kelamin merupakan lambang kenajisan atau dosa.
f.     Atribut (Asesoris) yang dipakai/di pegang patung karwar memberi arti tentang kapasitas dan jenis pekerjaan si orang mati (meninggal) antara lain :
-       Buaya lambang kesatria, jadi roh yang ada dalam patung karwar adalah seorang panglima.
-       Ular melambangkan seorang dukun (obatan) dll.
-       Taman melambangkan seorang dalam kepemimpinan yang melindungi warganya.
g.    Patung karwar tidak bersusun, simbolisasi kehidupan individu (perorangan).
h.    Bentuk sudut yang tajam adalah melambangkan kekerasan dan kekuasaan.
i.      Patung karwar yang berdiri adalah patung seorang pemimpin upacara-upacara Fan Nanggi (Mon).

J.    BENTUK VISUALISASI PATUNG KARWAR
Patung Karwar sebagai ungkapan imajinasi religius dari seni rupa yang plastis (trimatra), tidak mengikuti proporsi anatomi manusia yang sesungguhnya. Bagian kepala patung pada umumnya berbentuk silinder dengan ukuran yang lebih besar dari badannya. Badannya yang kerdil memberi komposisi yang menggelikan, perbandingan antara kepala  dan badanya yaitu 2 : 1 atau 3 : 2. Tinggi patung bervariasi, dari 20 cm sampai 50 cm bahkan lebih 150 cm.
Selain kepalanya besar dan badannya kerdil itu, ada terdapat juga bentuk yang menonjol yaitu garis-garis sudut pada patung, gaya duduknya dan atribut yang dipakai. Nilai garis-garis sudut pada patung Karwar adalah Ciri yang menyolok dari patung Karwar ialah dominasi guratan garis-garis sudut yang tegas dan jelas dalam konstruksi bentuknya, baik pada kepala yang silinder, wajah yang persegi, maupun pada tangan dan kaki yang persegi empat (balok)”. Irisan horisontal bagian kepala yang menampakan segmen (bagian) lingkaran dengan sudut depan yang tajam. Penampang tegak dari tangan dan kaki yang terlipat berbentuk segi empat. Kadang-kadang di bagian badannya juga berbentuk segi empat.
Bagian dagu berbentuk segi dengan mempunyai tepian sudut yang naik lurus. Garis dagu bagian bawah yang menyebar naik ke bagian belakang kepala, juga berbentuk segi dengan bidang yang tegak lurus dan sejajar dengan batang leher.
Hidung yang besar berbentuk jangkar, dibentuk dengan garis-garis pinggir yang tajam pula. Ada beberapa patung yang mempunyai pangkal hidungnya bersatu dengan kening dan jatuh lurus ke bawah, dimana kedua klep hidung menyebar ke kiri dan ke kanan dalam sudut-sudut yang lancip atau lengkung. Pada bagian mulutnya di cukil lurus mendatar, sedikit membuka dan melebar naik ke samping pipi kiri dan kanan.
Pada patung Karwar tidak terdapat sapuan-sapuan lengkung pada pipi, pinggirnya yang tajam, seperti yang terdapat pada patung Mbis dari Asmad dan Turel Uno dari Jayapura. Walaupun ada, bekas-bekas ketajaman itu masih nampak juga. Bentuk-bentuk sudut yang pada Karwar memberi suatu kesan tentang sifat kekerasan dan kekuasaan. Yang dapat menarik dari bagian kepala patung Karwar ialah semacam bingkai persegi yang membatasi kepala dan wajah.
Wajah yang seperti mengintik dari kepala yang menyerupai helm, kepalanya dahulu kala dibuat berongga untuk mengisi tengkorak manusia. Pada patung arwah ini dibuat ragam hias atau ornamen pada atribut yang digunakan, seperti : perisai, ular, tongkat melambangkan seorang pandai besi (kamasan).

K.   PERANAN DAN STATUS PEMATUNG
Seorang pematung atau pengukir dalam bahasa Biak disebut “Sukan”. Ada keyakinan bahwa orang yang memiliki keahlian mematung karena ia diberi makan daun tukang (Wui Sukan/ Wui Esuf Kir Ma Wui Bewor).
Daun keahlian seni ini adalah milik klen/marga tertentu, oleh sebab itu tidak boleh jatuh keluar klen/marga lain dan rahasianya tidak boleh bocor/diketahui orang lain. Mereka percaya dan meyakini bahwa daun sukan itu diberikan oleh Karwar (Moyang). Rahasia daun sukan ini hanya boleh diturunkan pada salah satu anaknya dan begitu untuk seterusnya.
Dan yang lebih diperhatikan adalah patuh pada pantangan-pantangan tertentu. Karena sekali lalai maka akan menjadi orang nakal atau jahat. Hal ini dalam bahasa Biak disebut “Npambari” artinya daun magis yang baik itu, membaliknya jadi orang nakal/jahat.
Pematung Karwar di masa lampau, mempunyai peranan penting, mereka di bayar mahal untuk membuat sebuah patung untuk moyang mereka. Pembayaran berbentuk natura, yaitu pembayaran dengan piring porselin, gelang perak, (sarak), parang dan makanan dari hasil kebun.
Pematung itu disegani dalam masyarakat karena pada umumnya memiliki keahlian, membuat ukiran-ukiran megah dan mengukir perahu-perahu besar. Jadi keahlian mematung dan mengukir merupakan mata pencaharian baginya.

L.    PERKEMBANGAN BENTUK-BENTUK BARU PADA PATUNG KARWAR

Telah diuraikan di atas, bahwa bentuk patung moyang ini pada masa lalu, sebelum pemusnahannya, dipentingkan fungsi religiusnya, disebabkan kepercayaan Karwar yang identik yaitu menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Tetapi pada periode revitalisasi (dikembangkan kembali) patung Karwar berfungsi komersial sebagai hiasan interior, hal ini dapat memberi pengaruh pada bentuk-bentuknya yang baru, seperti :
a.    Perbandingan patung kepala dan tubuhnya sudah seimbang, tidak bertubuh kerdil lagi.
b.    Posisi duduk berlutut, bukan duduk berjongkok.
c.    Mulut yang terbuka lebar, ada beberapa patung diukir sebuah tengkorak atau patung Karwar kecil di dalam mulutnya.
d.    Ornamen karein sebagai atribut pada puncak kepala diukir dengan posisi melintang dari depan ke belakang kepala.
e.    Patung Karwar ada yang di pahat bersusun menjadi dua sampai empat buah.
f.     Ukuran tinggi patung Karwar masa lalu berkisar 20 cm sampai 50 cm, sekarang sudah mencapai ketinggian 150 cm, bersusun sudah menjadi 300 cm.
g.    Ada beberapa patung yang diukir matanya terbuka lebar dengan wajah senyum.

M.   FAS-FAS KARERIN
Fas-fas Karerin adalah bentuk-bentuk ragam hias yang terdiri dari goresan-goresan garis dan warna, yang berpola tersendiri, corak dan keunikan tersendiri.
1.    Variasi Bentuk-Bentuk Karerin
Variasi dalam seni Kriya (Ukiran) tradisional Karerin, kalau dilihat secara sepintas lalu, maka akan timbul suatu kesan bahwa pada umumnya ragam hias Karerin disemua daerah sub wilayah gaya seni di Teluk Sacrera, adalah sama. Tetapi kalau diteliti secara seksama ternyata ada beberapa variasi yang membedakan lantaran sub wilayah yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan dalam variasi itu adalah lain di daerah Biak Numfor, motif-motif Karerin ini kelihatan besar dalam ukuran secara proposional, termusuk dalam kelompok ini adalah daerah-daerah yang mendapat pengaruah dan yang ada hubungan kebudayaan dengan Biak Numfor, yaitu kepulauan Raja Ampat, Manokwari Doreh, dan Roon, yang pada bagian-bagian motif ini ada beberapa penyajian bagiannya yang bersambung (berkait berulang) dan putus.
Didaerah Waropen dan Wondama; motif-motif Karerinnya ini berukuran sedang. Dan di daerah Yapen ukiran motif Karerinnya ini kelihatan kecil dan halus serta beberapa bagian pengajiannya bersambung dan tak kunjung putus.



-  Biak                                         - Waropen Wondama
- Yapen
a.    Karerin mempunyai :            
a. Spiral Tertutup                    (samfar dumepen )
b. Spiral Terbuka                    (samfar dai)
c. Spiral Mengingit                 (samfar darek)
b.    Kukunya :
a. Kuku Tengah        (bei fandu)
b. Kuku Samping      (bei andir)
c.    1. Cukilan Krawangan / butsiran. (fek, fake)
2. Cukilan Tembus. (fekir)
3. Lubang Cukilan. (mkir)



- Sp. Tertutup                      - Sp. Terbuka

 


- Sp. Menggigit                   - Kuku Tengah


- Kuku Samping                 - Cukilan

                      
- Cukilan Tembus              - Lubang Cukilan
d.    Sifat dan bentuk Karerin
Motif karerin bersifat berulang-ulang, bentuk berkait dan tidak berkait.



Motif Berulang                    Motif berkaitan



Motif Tidak Berkaitan

2.    Sumber Inspirasi dan Latar Belakang Karerin
Motif Karerin di Wilayah gaya Teluk Saerera, pada umumnya sama, hanya sedikit terdapat perbedaan pada variasi menurut beberapa sub daerah. Fek Karerin ini didalamnya terdapat bentuk cukilan Krawangan dan ada pula yang berbentuk cukilan tembus.
Dengan keunikan Karerin ini, pada umumnya seniman mengambil sumber ilham (inspirasi) motif ukir Karerin dari Teluk Saerera adalah sesuai keadaan Kitaran yang selain ada hutan, juga dikelilingi air atau lautan, sehingga cenderung untuk melukiskan dunia binatang.
Misalnya : Ular Naga (Ikak Korben. Ular naga adalah binatang raksasa yang diungkapkan sebagai penguasa darat dan Motif Korben (Naga) itu biasanya diukir pada haluan dan buritan perahu dagang, perahu hias (Wai ron), dan perahu perang (Wai Mansusu). Dengan suatu, latar belakang pikiran yang magic religius, maupun sosial ekonomi.
Bahwa perahu besar itu merupakan seekor ular naga raksasa yang tadinya telah dikuasai dan dikalahkan manusiaI di daratan, tetapi sekarang turun ke laut untuk menaklukkan kekuatan laut bersarna segala isinya. Jadi selama berlayar tidak ada bahaya ombak laut yang membawa kecelakaan dan tidak ada nabi laut (hantu laut) yang mengalahkan pelayaran mereka, untuk tujuan dagang serta menjalin hubungan dagang daerah-daerah.
Selain ular raksasa Korben, sebagai legenda rakyat yang terdapat di beberapa variasi di Teluk Saerera, (Variasi Waigeo, Wondama, Waropen dan Biak). Adapula motif buaya (Wonggor), yang mengandung latar belakang falsafah yang bervariasi pula, tetapi pada umumnya sebagai simbolis keperkasaan atau kepahlawanan seorang mambri.
Sedangkan simbolis yang lain yang mengandung latar belakang magis religius terhadap kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan anemisme dan dinamisme, yakni kepercayaan terhadap dunia gaib maupan kekuatan alam yang dianggap dasyat, adalah simbolis motif yang merupakan penggambaran-penggamban wujud jenis serangga, seperti Udang Laut (Uryase), belakang sembah (Inarbur) Biawak (Kasip), dan juga jenis-jenis binatang lainnya.
Selain seni Kriya dalam bentuk cukiran tembus maupm Krawangan, maka karya patung yang merupakan pusat hidup dan tujuan semua ciptaan seni tradisional ini adalah ukiran patung Karwar, yang pada umumnya dikenal sebagai patung moyang atau patung roh orang mati, yang diukir apabila seseorang meninggal dunia. Disekitar bagian Karwar ini diberi atribut-atribut tempelan dalam bentuk ukiran plastic yang menunjukkan peranan atau status seseorang semasa hidupnya. Tujuan membuat Karwar agar roh orang yang telah meninggal itu jangan mengembara atau kesasar dialam fanah ini lalu marah terhadap anggota keluarga dan mungkin menyakiti atau menyebabkan kematian anggota keluarga yang masih hidup.
Ada beberapa unsur motif yang biasanya diukir pada bagian Karwar adalah suluran-suluran cukilan Krawangan yang menunjukkan bahwa orang yang meninggal itu pada masa hidupnya adalah seorang seniman Kriyawan (pengukir), motif tombak atau buaya merupakan, simbolis seseorang satria (mambri), motif ular simbolis seorang obatan magis. Sedangkan suatu ukiran patung Karwar yang polos tanpa motif ukiran lain dan sikap duduk memeluk Iutut serta menopang dagu menunjukkan bahwa seseorang itu semasa hidupnya sebagai seorang pemikir.
Sebelum tahun 1872 Rum Sram merupaklan pusat kegiatan upacara-upacara Sakral dan sebagai pusat kegiatan, pendidikan para remaja dan pengembangan adat istiadat, sekaligus untuk menjauhkan pemuda dari persinahan sebelum menikah. Pemuda yang masuk Rum Sram telah mempunyai insos (Calon Istri) yang telah terikat janji dengan orang tua. Jadi pada masa dahulu isteri adalah pilihan orang tua, yang perlu masuk masa inisiasi.
Di dalam Rum Sram ini sudah ada orang tua yang diangkat sebagai guru, yang dapat melatih, mendidik dan mengawasi sipemuda-pemuda tersebut. Para pemuda ini kebanyakan adalah dari mereka yang hubungan keluarga yang erat atau terdekat yang sudah berumur : 17 tahun ke atas. Pemuda yang di Desa diwajibkan memasuki Sram Klennya atau  Sram Kampungnya. Pemuda ini dapat kembali kedalam keluarganya apabila ia telah mengikuti latihan-latihan dan ia telah dianggap dewasa serta bertanggung jawab didalam masyarakat.
Latihan-latihan yang diadakan di dalam Rum Sram adalah :
a.    Nyainyian dan lagu       (Warwer ma dou)
b.    Tarian perang     (Fayaryer)
c.    Mematung           (Rakrek Amfianir, Fakfek Karerin)
d.    Latihan berburu/memanah      (Samsam)
e.    Mengenalkan upacara-upacara adat (Fasasnai munara)
Pada tahun 1876, adalah tahun pemusnahan Rum Sram, Belanda telah menguatkan pemerintahannya, perkembangan agama Nasrani telah banyak orang Biak menganutnya, sedangkan adat Rum Sram dianggap sebagai hal yang kuno. Rum Sram satu persatu mulai ditumbang dan dibakar. Rum Sram hangus terbakar bersama patung-patung Karwar, Opur Bukor, Perisai, panah dan tombak yang berlumuran darah.
Rum Sram, kalau hanya (Mamfawawi Nanem) menceriterakan, mitos Koreri, dongen ular raga, burung kasuari yang penyayang insane, cerita tentang kakfo ibwui, mansorandak, daun-daun suanggi/undam manwen. Cerita tentang fanfan manseren nanggi, manggabras.
Rum Sram hanya tinggal nama, kalau telah pergi hilang bersama kepribadian orang Bijak/identitas dan adat istiadat serta seni budaya orang Biak. Kau dibakar hangus pertanda pemusnahan, bukan adaptasi budaya, tetapi Eropanisasi. Namun masyarakat adat adalah masyarakat yang dilahirkan di Adat, dibesarkan dari Adat, hidup didalam Adat maka tahu akan Adatnya dan Budayanya disinilah sejarah yang berbicara di masa (Generasi) sekarang dan akan berbicara di masa yang akan datang.


1 komentar:

  1. Dapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Bermain Poker Online di www,SmsQQ,com

    Keunggulan dari smsqq adalah
    *Permainan 100% Fair Player vs Player - Terbukti!!!
    *Proses Depo dan WD hanya 1-3 Menit Jika Bank Tidak Gangguan
    *Minimal Deposit Hanya Rp 10.000
    *Bonus Setiap Hari Dibagikan
    *Bonus Turn Over 0,3% + 0,2%
    *Bonus referral 10% + 10%
    *Dilayani Customer Service yang Ramah dan Sopan 24 Jam NONSTOP
    *Berkerja sama dengan 4 bank lokal antara lain : ( BCA-MANDIRI-BNI-BRI )

    Jenis Permainan yang Disediakan ada 8 jenis :
    Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar 66

    Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
    BBM: 2AD05265
    WA: +855968010699
    Skype: smsqqcom@gmail.com

    BalasHapus