By. SANGGAR SENI "SANERARO"
Gr. NIKO ASARIBAB, SH
SEJARAH SENI PAPUA
A. PENDAHULUAN
Papua
adalah sebuah Nama yang diberikan Tuhan bagi Negeriku, Cenderawasih dan diberkati sebagai Taman Eden yang pertama,
begitu indah dan mulia, hanya manusia-manusia yang merusaknya, sama halnya
dengan Papua yang diganti dengan Irian.
Irian
irtinya hangat, nama ini diumumkan pada tanggal 8 September 1945, oleh Wonggor
Markus Kaisiepo, atas nama bangsanya menolak kata Papua, diganti dengan nama Irian.
Di Papua inilah ibarat
sorga yang terlantar. Artinya kekayaan alam, dan
kekayaan seni budaya yang masih tersimpan dibumi Papua. Yang belum digali,
dikelolah, dan dikembangkan serta
dilestarikan. Disini pulalah terpendam bentuk-bentuk kesenian rakyat yang
perlu digarap kembali.
Sejarah
telah mencatat bahwa dari zaman batu muda Papua. Sampai dengan tahun 1960, tidak begitu banyak yang
diketahui tentang seni dan budaya Papua. Khususnya
kita lihat di wilayah Papua bagian Utara, terdapat suatu kesenjangan atau
kekosongan perkembangan kesenian Papua. Hal ini disebabkan tiga faktor penghambat, antara lain :
1.
Masa Peradaban Dan
Perbudakan (tahuh 1365 – 1855
Masa
pengayau dan perbudakan di wilayah Teluk
Saerera, Sorong sampai Fakfak (Onim), menyebabkan tidak ada ketenangan dari pemusnahan
rumah-rumah adat (Rum Sram) yang digunakan sebagai pusat pendidikan kesenian.
“Het
eiland Niew Guinea kwam voor het eerst binnen de ge zichtskring van de omliggende
volken doorzjn Muskaatnoten en zijin “ Uit het verlenden, Dr. C. Kamma, blz 39
artinya :
Pulau
yang bernama Niew Guinea untuk pertama kali di kenal oleh bangsa-bangsa sekitar
pulau itu oleh sebab buah pala dan budaknya.
2.
Masa Transisi Kepercayaan
Agama ( Tahun 1855 - 1960 ).
Dengan
masuknya agama Nasrani tahun 1855, dan berkembang sampai tahun 1960, merupakan masa transisi kepercayaan agama
adat, yaitu kepercayaan anemisme dan dinamisme, serta mitos Koreri, mitos
Kuri-pasai, mitos Wokui-wesei) kepada kepercayaan agama Nasrani. Dari masa ini
juga pemusnahan terhadap karya-karya seni yang ada hubungannya dengan magis
religius.
Tidak
ada penulisan tentang kesenian rakyat Papua walaupun pada waktu itu, sejak
tahun 1826 sampai dengan tahun 1962 pemerintah Belanda, sudah sah memerintah di
Papua.
Dengan
adanya tiga faktor tersebut diatas,
yang merupakan penyebab kekosongan dalam perkembangan kesenian rakyat, walaupun
demikian masih diperoleh beberapa dukumen foto-foto tentang beberapa sisa
bentuk-bentuk seni rupa tradisional Papua ini, lewat karya-karya para misionaris
yang masa pengabdiannya melayani orang Papua dengan penuh cinta kasih. Pdt.
Ronny, mengatakan bahwa mereka hidup dengan penuh ketakutan dalam alam
kegelapan magis religius, tetapi tak pernah mereka kesepian dalam kesunyian,
karena mereka menyanyi (wor) dan berdansa sepanjang masa seperti kebiasaan
burung cenderawasih yang bernyanyi dan menari di setiap pagi dan petang. Benar
juga syair yang berbunyi “Hidup tanpa seni, bagaikan hidup di tanah gersang”.
Dahulu
kala seniman ukir dan pematung mempunyai peranan penting didalam masyarakat Papua yang magis religius. Didalam
kehidupan bermasyarakat mereka mempuyai
falsafah-falsafah hidup yang berkembang sendiri dimasyarakat Papua. Salah satu
falsafah hidup yang di angkat disini, adalah: Manusia sejati, harus mempunyai
rumah besar, kebun besar dan perahu besar. Penerapannya di dalam kehidupan
bermasyarakat, maka mereka yang memenuhi tiga hal tersebut diatas berarti
telah mencapai kemenangan hidup. Masalah tersebut merupakan ukuran kekayaan dan
prestise. Dengan rumah besar dapat menerima tamu menginap, tamu tersebut tidak
kelaparan karena ada makanan yang telah dipanen dari kebun besar, dan
seandainya hubungan transportasi putus, bisa dipinjamkan perahu besar itu.
Jadi
dengan adanya tamu yang datang menginap bisa tidur nyenyak, aman dan tidak
kelaparan sampai kembali dengan selamat ditempat asalnya. Dengan demikian tokoh
penyelamat tersebut diberi nama kehormatan Manswabye (orang berbudi baik) dan
Mampapoik (orang kuat/perkasa yang diharapkan ).
Dengan adanya perahu besar
dan rumah besar serta rum sram klein, maka kriyawan/seniman itu di minta untuk
mengukir fek karerin pada bagian dekor dari perahu dan tiang-tiang rumah. Dan
kalau ada anggota keluarga yang meninggal dunia, pengukir/pematung diminta
untuk memahat sebuah Karwar, sebagai tempat bersemayam sang roh si peninggal.
Dengan
kerja seniman itu dibayar dengan piring porselin, gelang logam (parak), gelang
siput (samfar), makanan dan parang. Pembayaran ini berbentuk natura. Para seniman ini disegani didalam masyarakat,
karena pada umumnya mereka mempunyai rumah besar, perahu besar dan keahlian mengukir
ini merupakan suatu mata pencaharian.
B. SEJARAH
BUDAYA
Dalam sejarah perkembangan
peradaban masyarakat dunia, dan daerah Biak Numfor pada khususnya dan Papua
pada umumnya di masa silam seolah-olah sebagai tanah yang terlupakan. Sejarah
modernisasi, baru dimulai pada abad
ke-19, sesudah 20 tahun agama Nasrani masuk di Tanah Papua pada tanggal, 5 Februari
1855.
Dalam perjalanan sejarah,
daerah Biak pertama kali di singgahi oleh De Menesez, pelayar Portugal, kandas
di biak utara pada tahun 1526, lalu menamai pulau ini
I Has Dos Papuas (pulau-pulau orang
papua). Papuas artinya orang berambut keriting. Kemudian di susul oleh Yni Go
Ortits de Retez ke Papua pada tahun 1545 dan menobatkan Papua menjadi milik
mahkota Spanyol denngan nama “Nova Guinea”.
Sejak abad ke-16, orang
biak sudah ada hubungan dengan dunia luar. Mereka sudah mengenal dan
menggunakan benda-benda porselin dan besi, sehingga mereka menempah parang dan
tombak dan mereka menghayau di pesisir pantai utara Papua. Walaupun sudah ada
hubungan dengan dunia luar, mereka tetap hidup dalam dunia ketakutan akan Roh-Roh
orang mati. Mereka menganggap orang kulit putih atau orang barat yang datang di
Biak, adalah orang-orang dari dunia Roh, yang telah merubah bentuk atau rupa
mereka dan hidup di dunia kasat mata. Dengan pendapat ini, mereka tidak
menerima orang Spanyol tinggal di Biak, walaupun menerima barang-barang dari
mereka.
Pada abad ke-16, orang
biak dikenal sebagai pelaut dan reputasi mereka sebagai bajak laut yang kejam,
selalu menghayau penduduk pantai utara papua, mereka menangkap orang-orang di
daerag Onim (Fak-fak dan Sorong) dan di jual sebagai budak di ternate, Badar
Bugis Makassar, dan sampai pada masa tanam paksa di Maluku.
Dari jiwa petualang ini,
mereka selalu memintakan kekuatan dan perlindungan dari Roh-Roh arwah moyang
mereka lewat Patung Karwar yang dibawa kemana-mana. Namun masa kejayaan Patung
Karwar itu kini tinggal nostalgianya saja, sebab sejak agama Nasrani berkembang
di Papua pada 5 Februari 1855, jiwa petualangan Suku Biak Numfor sedikit demi
sedikit di jinakkan, yaitu medan pekabaran Injil di daerah-daerah pesisir dan
pedalaman Papua.
Fanatisme mereka terhadap
agama baru (Nasrani) itu tidak tanggung-tanggung. Dan atas dorongan dan kemauan
sendiri, mereka memusnahkan rumah-rumah adat (Sram-Ram/Rum Sram) termasuk
patung-patung Karwar, dalam waktu relatif singkat patung-patung Karwar hilang
dan musnah dari dunia peredarannya.
Produksinya berhenti dan
macet. Ada patung Karwar yang dijual sebagai budak kepada orang lain, dan
sebagian yang tidak sempat di bakar di boyong ke negeri Belanda dijadikan
sebagai benda-benda atau warga mesium di sana. Misteri patung Karwar ini, tidak
pernah terungkapkan lagi. Para ahli lalu mengkritik teror kebudayaan yang
dilancarkan para pendeta, tetapi kritik mereka tidak pernah di utak-atik karena
orang biak sendiri telah memusnahkannya dan menutup mulut untuk memberi
informasi terhadap usaha penelaan budaya di daerah Tanah Papua, karena takut
disebut kafir lagi.
Pada tahun 1960 sampai
sekarang misteri patung Karwar mulai diminati, digali kembali dan diangkat
sebagia warisan budaya dan tidak berfungsi lagi sebagai patung pemujaan Roh,
tetapi berfungsi sebagai hiasan interior dan komersial.
C. PEMBAGIAN WILAYAH GAYA SENI
DI PAPUA
PAPUA
yang terdiri atas 250 suku besar, yang terbagi lagi menjadi 225 sub suku dan
114 bahasa daerah yang berbeda-beda serta iklim dan luas geografi yang turut mempengaruhi perkembangan kesenian
di daerah ini sehinggal terdapat banyak
fariasi, keunikkan, corak dan ciri khas tersendiri.
Pada
tahun 1936, Tuan F. Speiser, melakukan penelitian pertama dengan membembedakan
dua wilayah gaya seni, yaitu wilayah gaya seni Teluk Gelvink/Saerera (sekarang Teluk Cenderawasih)
dan wilayah gaya seni Barat daya. Telaan kedua
oleh A. A. Gerbrands, dengan menggunakan teknik yang dikembangkan oleh
Olbrecht, terhadap kesenian Afrika. Dengan membagi kesenian rakyat di Papua
menjadi tiga wilayah gaya seni, antara lain:
1.
Kesenian gaya teluk gelvink
( Saerera )
Pembagian
kesenian yang di wilayah ini menyebar dari pulau Waigeo, sebelah barat Papua
sampai ke daerah Mamberamo Timor, wilayah ini meliputi : Mamberamo, Kumamba,
Kurudu, Yapen, Biak, Supiori, Numfoor, Pulau Moor Wondama, Manokwari,
Amberbaken, Pulau Waigeo dan Sebelah Utara Pulau Batanta dan Salawati.
2.
Kesenian Gaya Barat Daya
(Asmad)
Kesenian
di wilayah ini, meliputi : daerah mimika, mulai dari pesisir selatan teluk Etna di sebelah Barat sampai
ke sungai Otakwa di sebelah Timur, dan daerah Asmad.
3.
Kesenian Gaya Teluk Humbolt
– Sentani
Kesenian
wilayah ini terdiri dari dua sub daerah, yakni Daerah Pantai Utara, mulai dari
sungai Mamberamo sampai perbatasan Papua Niguni, dan Daerah sekitar danau Sentani.
Berdasarkan pembagian kesenian menurut wilayah gaya seni, tersebut diatas maka ragam hias Papua, digolongkan
sebagai berikut :
a.
Ragam hias Karerin, terdapat
di wilayah Teluk Saerera.
b.
Ragam hias Asmad, terdapat
di wilayah Barat Daya.
c.
Kagam hias Tabi, terdapat di
wilayah Jayapura – sentani.
Secara
potensial kehidupan masyarakat di tanah Papua, terdapat dalam 4 kawasan yang dominant
yaitu :
1.
Masyarakat di pesisir pantai
dan pulau-pulau.
2.
Masyarakat di aliran sungai
dan rawa-rawa.
3.
Masyarakat di kawasan tanah
datar (marginal)
4.
Masyarakat di daerah
pegunungan/dataran tinggi.
Sedang
pola kehidupan masyarakat pada umumnya dapat dibedakan berdasarkan pola
pemukimannya. Setiap pola pemukiman umumnya memiliki corak dan tata kehidupan
tersendiri. Baik sosial ekonomi maupun sosial budayanya. Berdasarkan sumber
kehidupan masyarakat di tanah Papua dapat di klasifikasikan menjadi tiga
golongan, yaitu :
1. Golongan
masyarakat yang berbudaya air (aqua cultuur)
2. Golongan
masyarakat berbudaya peladang/petani (agricultuur)
3. Golongan
masyarakat marginal yang hidup dari kedua-duanya/campuran.
Konsepsi
yang mendasar untuk dapat mengetahui interelasi budaya dasar masyarakat Papua adalah
mempedomani pada teori pembagian wilayah berdasarkan data materi budaya yang
telah ditandai oleh para peneliti bahgsa Barat seperti Konsep tentang Culture
Proviencies (J.G.Held. 1951 dan konsep tentang Art style area/Wilayah Gaya Seni
( A.A.Gerbrand.1979 ), yang sejauh ini masih dapat diterima.
Secara
global konsep tersebut dapat dikatakan telah dapat memberikan pandangan secara
umum mengenai corak seni dan budaya Papua pada umumnya. Atas pertimbangan
serupa yang diperluas dengan pengalaman empiris dan intuisi cultural terhadap elemen-elemen
budaya, terutama keseniannya, maka budaya Papua cenderung untuk dapat dikelompokkan
menjadi Wilayah Budaya dengan beberapa divisi-divisi budayanya sbb.
1. Wilayah
Budaya Sarera (Teluk Sarera/Geelvink) meliputi Divisi budaya sbb :
a. Divisi
Budaya Biak (Biak Numfor, Pantal Utara Kepala Burung dan Kep. Raja Ampat.
b. Divisi
Budaya Yapen meliputi seluruh Pulau
Yapen pada umumnya.
c.
Divisi Budaya
Waropen (Tarunggare, Waropen, Weinami, Kaybi Ambuni).
d.
Wondama Wamesa : Manokwari,
Nabire, Fakfak, Kaimana, Bintuni dan Teluk Arguni.
2.
Wilayah Budaya
Bomberai-Dobeirai
a.
Divisi Budaya Onin Kapaur :
meliputi Kokas dan Fak-fak pada umumnya.
b.
Divisi Ogit-Bira-Arandai
Sorong, Inanwatan dan Teminabuan.
c.
Divisi Laganyam Matbat :
Wilaya Kepulauan Raja Ampat pada umumnya.
d.
Divisi Mejakh dan Hatam Manokwari
Kebar Ransiki dan Anggi.
3.
Wilayah Budaya Pantai
Selatan
a.
Divisi budaya OK dan Komoro
: Fakfak, Mimika, Mindiptanah, Algats, Atsy, Eldera, Okbibab dan Iria Asinara.
b.
Divisi Budaya Fly-Maro :
Merauke Okaba, Kepi Muting dan Kimam.
4.
Wilayah Budaya Pantai Utara
a.
Divisi budaya Tabi :
Nimboran, Kemtuk gresi, Youtefa dan Skouw.
b.
Divisi budaya Kerom : Arso,
Waris, Lereh dan Senggi
c.
Divisi budaya Sobey dan
Berik : Pantai Timur dan Thor
d.
Divisi budaya Israwa dan
Airmati Pantai Barat dan Mamberamo hilir
e.
Divisi budaya Kwerba :
Mamberamu Hulu/Atas dan Kasonaweja.
5.
Wilayah Budaya Pegunungan
Tengah
a.
Divisi Budaya Mee : Pania
pada umumnya dan Tembagapura
b.
Divisi Budaya Baliem/Dani :
Kab Jayawijaya/ Lembah Baliem pada umumnya.
c.
Divisi Budaya Timoriti :
Daerah Pegunungan Jayawijaya pada umumnya.
6.
Karakteristik Masyarakat
Papua
Beraneka
ragam budaya, ada 271 suku bangsa dan bahasa, yaitu :
a. Biak
= 1 suku
bangsa
b. Fak-fak
= 21 suku
bangsa
c. Jayapura
= 88 suku
bangsa
d. Jayawijaya
= 27 suku
bangsa
e. Manokwari
= 19 suku
bangsa
f. Merauke
= 43 suku
bangsa
g. Paniai
= 21 suku
bangsa
h. Sorong
= 23 suku
bangsa
i. Yapen
Waropen = 28 suku
bangsa
Ket : sebelum ada pemekaran
kabupaten-kabupaten dan provinsi.
D. BENTUK
DAN LATAR BELAKANG PENCIPTAAN PATUNG KARWAR
Sebelum dibicarakan bentuk
visual patung Karwar, dijelaskan lebih dahulu bahwa suku Biak dan bagaimana
konsep pikir mereka tentang religius, yang menyebabkan mereka menciptakan dan membentuk patung Karwar.
1. Suku Biak
Suku biak termasuk salah satu suku
dari 250 suku di Tanah Papua. Orang Biak ini mendiami gugusan pualu-pulau Biak,
Numfor, Supiori, Pulau-pulau Padaido, Micos Befondi yang terletak di muara
Teluk Cenderawasih Pantai Utara Papua. Bahasa daerah yang digunakan adalah
basaha Biak (Wos Byak). Penggunaannya dan pengucapannya relatif paling banyak
di Papua.
Sejak dahulu orang Biak dikenal
sebagai pelaut di patai utara Papua, mulai dari sungai mamberamo di sebelah
timur pulau kumamba sampai daerah pantai Utara Papua bagian kepala burung dan
ke pulau-pulau raja ampat paling barat, terdapat pemukiman atau perkampungan
orang biak. Ini merupakan bukti dari sebuah sejarah petualangan di masa lampau.
Pelaut-pelaut biak bahkan pergi sampai
Banda, kepulauan Tanimbar dan pulau Buru. Di dalam tulisan Dr. F.C. Kama,
diuraikan bahwa : budak-budak yang dijual oleh orang biak, dipakai sebagai
pendayung dan bekerja di perkebunan-perkebunan rempah-rempah di Banda. Tahun
1824, kurang lebih 70 kapal perampok yang memakai penduduk asli Papua sebagai
Budak atau pendayung dan diketahui berada di perairan Banyuwangi (Jawa Timur.
46).
Orang biak mengadakan hubungan kontak
teratur dengan kesultanan Tidore, mereka memperoleh
gelar-gelar penghormatan yang dulu diterima, dan selanjutnya di gunakan sebagai
nama-nama marga/ keret antara lain : Kapten laut menjadi Kapitarau, Kapitan
(Kapisa), juru bahasa (Urbasa), Sangaji (Sanadi), Gimala (Dimara) dan Mayor
tetap Major.
Sekembalinya dari Ternate, banyak yang
tidak sampai di Biak, tetapi ada yang membuat pemukiman baru di Kepulauan
Sorong, Raja Ampat, bahkan ada yang mempunyai perkampungan di Ternate dan
Tobelo (Maluku).
Sub Suku yang imigran ini antara lain
Suku Sopen, Sub Suku Sowek, dan Sub Suku Wardo yang menetap di pulau-pulau Raja
Ampat, yang kemudian jadi Sub Suku Ayau dan Beteu. Sedangkan yang imigran ke
Ternate, adalah Sub Suku Samber dan Sub Suku Manwor.
Nama-nama Sub Suku Biak (Mrga Besar),
yang dapat di bagi menurut tradisi dan ragam bahasa Biak, antara lain :
a.
Sub
Suku Sopen
b.
Sub
Suku Samber
c.
Sub
Suku Sowek
d.
Sub
Suku Marin
e.
Sub
Suku Mandender
f.
Sub
Suku Manwor
g.
Sub
Suku Numfor
h.
Sub
Suku Wadibu
i.
Sub
Suku Wardo
j.
Sub
Suku Beteu
k.
Sub
Suku Ayau
Sub-sub Suku Biak ini mempunyai
logat/ragam bahasa dan intonasi bahasa yang jauh berbeda tetapi bahasanya hanya
satu yaitu bahasa Biak. Memang ada satu dua kata yang berbeda pengertian dan
juga ada benda-benda yang terdapat dua tiga nama, hal tersebut memperkaya tata
bahasa Biak. Pengertian kata-kata di jumpai dalam benda atau atribut yang
digunakan dalam upacara Adat atau upacara Karwar, misalnya ukiran suluran pada
puncak kepala patung : Fek-kir, Kun-kir/Kung-gir, Pisau Pengukir, Inoi,
Famaras.
2. Konsep Religi Orang Biak
Dalam uapaya memahami beberapa aspek
kepercayaan yang menjadi dominan thema di dalam seluruh sistem kepercayaan
religi orang Biak, maka thema-thema tersebut antara lain :
a.
Kepercayaan
Roh orang mati (Karwar)
b.
Roh-Roh
penghuni Alam Semesta
c.
Penyembahan
Matahari
d.
Kepercayaan
Mitos Koreri
e.
Kepercayaan
Manseren Nanggi
a.
Kepercayaan
Roh Orang Mati (Karwar)
Konsep
kepercayan Karwar, begitu mendasar pada orang Biak masa lampau sehingga mereka
menciptakan suatu bentuk patung yang
disebut Amfianir/religius Karwar untuk memperingati anggota keluarga yang meninggal.
Mereka
berpendapat bahwa manusia itu mempunyai satu tubuh dan dua Roh, yaitu jasmaniah
(baken saprop), Roh (Rur) dan bayangan Roh (Nin).
Seseorang
yang masih hidup berarti jasmaniah, ruh dan Nin menjadi satu, apabila saat
kematian seseorang berarti jasmaniah akan rusak dan dipindahkan ke suatu tempat
khusus yang disebut Yen Aibui (dunia jasat). Yen Aibui adalah tempat orang mati
akan dibangkitkan dari kematian atau Yen Aibui sebagia pintu masuknya Roh (Rur)
dan Nin untuk bertemu kembali dengan jasat yang akan bangkit kembali dalam
bentuk yang baru.
Kebangkitan
yang dibawah oleh Manseren Koreri, saat orang mati, Roh (Rur) akan pergi
bersemayam di dunia Roh (Sup Romowi) di Nanggi (Langit) nan jauh di sana,
sedangkan bayangan Roh (Nin) berdiam di alam Karwar bersama orang hidup, dengan
demikian orang Biak membuat patung menyerupai orang hidup sebagai tempat
berdiam Nin, sehingga Nin tidak berkeliaran bersama dengan orang hidup diantara
anggota keluarga mereka. Dan untuk menjaga hubungan kekeluargaan ini, maka
upacara Adat (Ritus) merupakan faktor penting. Mereka percaya bahwa Roh
Karwar/arwah-arwah ini memberi kekuatan untuk menjaga keluarga, memelihara
kebun, dan mendatangkan hujan, menjauhkan penyakit, dan juga menyusahkan,
menyakiti, dan menakut-nakuti orang yang
masih hidup.
Jadi
apabila seseorang mengalami bencana atau penyakit, ide pertama yang muncul di
pikiran mereka ialah yang bersangkutan telah menyimpang dari tatanan spiritual,
sebaliknya seseorang yang berhasil dalam usaha/hidupnya karena mengadakan
hubungan kontak dengan dunia Karwar.
b.
Roh-Roh
Penghuni Alam Semesta
Orang
biak di masa lampau sangat kuatnya menganut kepercayaan bahwa ada roh-roh lain
di alam semesta ini, yaitu roh-roh penghuni gua, pohon besar, sungai, gunung,
di dalam tanah dan di dalam laut (Faknik, Nabi), Manwen yaitu Suanggi, hantu
laut dll.
Jika
seseorang mengalami suatu penyakit yang berat, maka orang itu telah menyimpang
dari tatanan spiritual sehingga roh Karwar dan Menseren Nanggi tidak
melindungi, maka roh-roh jahat, suanggi dan nabi/hantu laut membawa bayangan
roh (nin) orang sakit tersebut untuk disembunyikan di gua-gua, di pohon besar,
di dasar laut, sehingga perlu suatu upacara Roh Karwar, dan yang bisa berbicara
kepada roh-roh jahat/suanggi-suanggi dan nin adalah Mon (Dukun) dengan segala
kekuatan mantra/ilmunya. Sebelum mengobati si sakit, Mon meramal (Kyinsor)
sebab-sebab si sakit kemudian dilanjutkan dengan pengobatan tradisional
termasuk baca mantra-mantra kemudian memberikan larangan-larangan yang di taati
selam pengobatan.
c.
Penyembahan
Matahari (Fan Ori)
Pandangan
orang Biak di masa lampau tentang siang dan malam merupakan dua kuasa yang
saling berlawanan, yakni kuasa yang baik dan kuasa yang jahat. Kedua kuasa ini
berusaha menguasai manusia, kuasa yang baik berkedudukan di sebelah timur,
dengan bentara atau pesuruhnya, sedangkan kuasa yang jahat (kegelapan)
disebelah barat dengan pengawalnya.
Jika
siang di kalahkan malam, maka manusia akan mengantuk dan tidur sehingga malam
dengan kegelapannya merupakan lambang penguraian bagi tubuh manusia, Rohnya
(Rur) dan Nin. Tetapi jika malam dikalahkan siang, maka siang dan matahari
(ori) adalah lambang persatuan tubuh Roh dan Nin. Dimana manusia dapat bangun
dari tidurnya kembali karena ada penguasa Matahari (Kon-Ori) mempersatukan
kembali.
Pertentangan
antara siang dan malam merupakan inti dari pada religi nenek moyang orang biak,
untuk menyembah “konor matahari” dengan mengadakan “Pesta memberi makan kepada
Matahari” yang disebut “Fan-Ori”. Mereka membawa makanan dan dipersembahkan
kepada Matahari, agar matahari mendatangkan kemakmuran, kekuatan, keseburan.
Dalam doa-doa di mohon Matahari memberikan sinarnya untuk kesuburan tanah
ladangnya, memberi tenaga, kekuatan bagi orang yang mencari nafka di darat dan
di laut.
Penguasa
Matahari disebut “Konor”, kata konor terdiri dari Kon artinya Penguasa Besar
(Penunggu) sedangkan kata Or artinya Matahari dan kekuatan gaib/kuasa. Jadi
nama dewa matahari disebut “Konori” yang memiliki kekuatan gaib yaitu
mengeluarkan sinar dan panasnya.
d.
Kepecayaan
Mitos Koreri Biak
Koreri
adalah suasana atau keadaan penuh dengan kegembiraan, kedamaian, kebahagiaan
dan kesejahteraan (KandoMoboser). Mereka mendambakan sistem masyarakat yang
ideal, dimana di dalamnya tidak ada kemiskinan, penderitaan, sakit-penyakit,
pemerasan, tekanan sosial budaya dan politik bahkan tidak ada kematian. Untuk
mencapai impian tersebut hanya melalui ritus-ritus keagamaan, yaitu Koreri.
Wor
Koreri/Munara Koreri, upacara ini adalah suatu upacara adat yang kompleks yang
jarang terjadi, dan terdiri dari banyak bagian yang di dalamnya orang banyak
menyanyi dan menari dalam berbagai gerak Tari Wor Adat.
Upacara
Adat Wor Koreri diadakan selama
4 – 8 malam, setiap malam orang biak berganti-ganti menyanyi (Wor) yang
jenisnya adalah :
1.
Beyuser
Koreri (lagu yang mengandung cerita Koreri)
2.
Do’Erisam
(lagu yang dinyanyikan sekitar jam 10.00 malam, lagu yang menceritakan tokoh
Koreri)
3.
Do’Beba
(lagu yang dinyanyikan tengah malam sambil menari tari kemenangan)
4.
Do’Sandia
(lagu yang dinyanyikan untuk rumah, tempat menampung orang mati yang bangkit
kembali saat jalannya Wor-Koreri)
5.
Kayob
Kumeseri (lagu yang dinyanyikan menjelang subuh, merupakan lagu ratapan
menyanyi sambil memanggil roh arwa keluarga yang telah meninggal. Lagu ratapan
perkabungan.
Tokoh
nenek moyang mereka yang akan mendatangkan Koreri, adalah Mansar Manggundi/ Manseren
Koreri (Tuhan Koreri), mereka yakin dan percaya suatu saat Koreri akan datang
dengan segala kemakmuran dan kesejahteraannya yaitu (Koreri Kando Mob Oser).
e.
Kepercayaan
Kepada Manseren Nanggi
Orang
biak percaya ada Tuhan di langit (Manseren Nanggi) yang mempunyai segala
kekuatan, dan yang dapat memberi kehidupan, memberi kesejahteraan, kemakmuran
dan hikmat.
Upacara
adat ini di adakan pada saat terjadinya bencana kelaparan (Angakori). Upacara
tersebut bersifat umum. Semua Klen dari kampung-kampung ikut ambil bagian dalam
upacara tersebut. Yaitu upacara “Wor Fan Nanggi/ Munara Fan Nanggi.
Wor
Fan Nanggi (upacara memberi makan, memberi sesajen kepada Manseren Nanggi
(Tuhan di langit) dan upacara ini adalah upacara khas Biak, namun upacara
tersebut di lakukan juga di berbagai tempat lain di Papua dan Van Hasselt
melihatnya pertama kali di Pulau Mansinam yang dilakukan oleh orang-orang Biak.
Mereka
membuat sebuah para-para/panggung persembahan (Sandia), di atas panggung di
hidangkan makanan dan sesajen yang berupa hasil kebun dan di bawah panggung di
letakkan alat pertanian, alat berburu, dan alat mancing ikan. Seperti Adaf,
Sumber, Bome, Pandai, Sarfer, Manora, Mgan.
-
Adaf
yaitu kayu penanam, keladi, kasbi, betatas dan bete dan tanaman lain
-
Sumber
yaitu parang
-
Mgan
yaitu kapak
-
Bome
yaitu tombak
-
Pandai
yaitu senapan molo ikan
-
Maryai-ikoi
yaitu anak panah dan jubi
-
Sarfer
yaitu nyimu/nilon dan mata kail
-
Manora
yaitu kalawai
Di
atas panggung (Sandia) berdiri pemimpin upacara (Mon) dengan kepala menengada
ke langit dan mengangkat kedua tanggannya serta memanggil : “Oh Manseren
Nanggi, berilah, berilah jawaban, jawablah saya, kemanakah engkau pergi, apakah
engkau pergi jauh ?. Manseren, engkaulah yang kami cari dan kami mohon
datanglah padaku, bicaralah kepadaku, datanglah padaku ! “.
Apabila
tangan pemimpin (Mon) yang di acungkan bergetar kesurupan dan jatuh, pertanda
Manser Nanggi betul-betul turun dari langit dan akan memberi jawaban, dan akan
dimengerti oleh pelaku pengantara dalam bentuk suara-suara yang di ucapkan Mon
atau melalui penglihatan pada malamnya lewat peserta Wor (Upacara Adat).
E. JENIS-JENIS
PATUNG KARWAR
Kata Karwar dalam bahasa
Biak berarti Roh orang mati. Patung Karwar di buat untuk memperingati anggota
keluarga yang meninggal dunia.
Sebetulnya nama yang tepat
untuk menyebut patung kayu itu adalah “Amfianir” Kayu yang menyerupai, tetapi
karena patung itu di anggap berisi Karwar (roh orang mati) maka patung tersebut
telah populer dengan sebutan “Karwar” (Korwar).
Patung Karwar dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu : patung Karwar dan patung Opur Bukor. Amfianir
(patung) Karwar adalah patung kayu yang dibuat untuk Nin (Roh Bayangan) dari
golongan masyarakat biasa. Amfianir
Opur Bukor adalah patung Roh yang bagian kepalanya besiri tengkorak dari
orang-orang terkemuka atau khusus untuk para kepala suku dan ketua-ketua klen
atau marga. Cara mengambil tengkorak dari beberapa daerah berlainan.
Dalam patung disediakan
tempat terbuka untuk tengkorak. Tengkorak ini dapat dimasukkan dari belakang,
dari atas kebawah atau dari depan. Kalau dimasukkan dari depan, tengkorak itu
di pakai sebagai muka, sedangkan dalam hal yang lain muka itu harus di ukir
dalam kayu (ukr. 50 cm).
F. FUNGSI
PATUNG KARWAR
Patung
Karwar berkembang pada dua masa, sehingga fungsi patung Karwar di bedakan dalam
dua periode, yaitu:
a.
Periode
sebelum tahun 1875
b.
Periode
sesudah tahun 1960
(F.C. Kama, Op. Cit.p.303).
Periode
pertama sebelum tahun 1875, adalah periode orang Biak masa lalu yang masih
percaya akan kekuatan dan kehadiran Roh Nenek Moyang. Periode sesudah tahun
1960, merupakan fase/masa kehidupan kembali patung Karwar. Karena sekitar 100
tahun patung Karwar hilang dan punah dari pembuatan dan peredarannya akibat pengaruh
agama “Nasrani”..
G. FUNGSI
PATUNG KARWAR PADA PERIODE PERTAMA 1875
a.
Sebagai
patung peringatan anggoa keluarga yang telah meninggal.
b.
Sebagai
tempat bernaungnya (bersemayamnya) Roh Nenek Moyang / orang meninggal.
c.
Sebagai
simbol penyatu rasa kekeluargaan yang erat pada upacara-upacara Karwar.
d.
Sebagai
pelindung, untuk diminta nasihat, menyertai perjalanan dalam pelayaran, memberi
kesuburan, menjauhkan penyakit, menyertai perburuan di darat dan di laut.
e.
Sebagai
pusat Roh moyang / Karwar yang merupakan pusat perhatian religius.
H. FUNGSI
PATUNG KARWAR PADA PERIODE KE DUA 1960
a.
Sebagai
bahan ekspresi seniman untuk menciptakan bentuk-bentuk baru.
b.
Sebagai
bahan untuk komersial/souvenir.
c.
Sebagai
bahan untuk dekorasi interior ruang tamu dan di hotel-hotel dan kantor-kantor.
d.
Sebagai
kekayaan seni budaya di mesium.
e.
Sebagai
bahan penelitian budaya dan pendidikan.
I. ARTI
SIMBOLISASI PADA PATUNG KARWAR
Arti
simbolisasi yang divisualisasikan dalam bentuk patung karwar,adalah sebagai
berikut :
a. Kepala patung karwar yang lebih besar
dan silinders itu menyerupai tengkorak, yang melambangkan dunia orang mati.
b. Mata kecil, ada beberapa patung yang
matanya di isi manik-manik berwarna kuning dan putih atau dengan pecahan
piring, patung itu harus di butai penglihatannya.
Hal ini merupakan arti simbol dari
mayat orang meninggal yang ditutup matanya supaya tidak melihat dengan
pandangan memanggil orang yang masih hidup untuk ikut ke dunia bawah (dunia
orang mati).
c. Patung yang duduk melipat kaki,
simbolisasi dari mayat yang dilipat dan diikat erat-erat, supaya tidak
menendang anggota keluarga lain untuk ikut meninggal.
d. Patung yang tangannya menopang dagu
adalah simbol seorang pemikir.
e. Patung karwar tidak mempunyai alat
kelamin, karena roh orang mati tidak berkembang biak dan alat kelamin merupakan
lambang kenajisan atau dosa.
f. Atribut (Asesoris) yang dipakai/di
pegang patung karwar memberi arti tentang kapasitas dan jenis pekerjaan si
orang mati (meninggal) antara lain :
-
Buaya
lambang kesatria, jadi roh yang ada dalam patung karwar adalah seorang
panglima.
-
Ular
melambangkan seorang dukun (obatan) dll.
-
Taman
melambangkan seorang dalam kepemimpinan yang melindungi warganya.
g. Patung karwar tidak bersusun,
simbolisasi kehidupan individu (perorangan).
h. Bentuk sudut yang tajam adalah melambangkan
kekerasan dan kekuasaan.
i. Patung karwar yang berdiri adalah
patung seorang pemimpin upacara-upacara Fan Nanggi (Mon).
J. BENTUK
VISUALISASI PATUNG KARWAR
Patung Karwar sebagai
ungkapan imajinasi religius dari seni rupa yang plastis (trimatra), tidak mengikuti
proporsi anatomi manusia yang sesungguhnya. Bagian kepala patung pada umumnya
berbentuk silinder dengan ukuran yang lebih besar dari badannya. Badannya yang
kerdil memberi komposisi yang menggelikan, perbandingan antara kepala dan badanya yaitu 2 : 1 atau 3 : 2. Tinggi
patung bervariasi, dari 20 cm sampai 50 cm bahkan lebih 150 cm.
Selain kepalanya besar dan
badannya kerdil itu, ada terdapat juga bentuk yang menonjol yaitu garis-garis
sudut pada patung, gaya duduknya dan atribut yang dipakai. Nilai garis-garis sudut pada
patung Karwar adalah Ciri yang menyolok dari patung Karwar ialah
dominasi guratan garis-garis sudut yang tegas dan jelas dalam konstruksi
bentuknya, baik pada kepala yang silinder, wajah yang persegi, maupun pada
tangan dan kaki yang persegi empat (balok)”. Irisan horisontal bagian kepala
yang menampakan segmen (bagian) lingkaran dengan sudut depan yang tajam.
Penampang tegak dari tangan dan kaki yang terlipat berbentuk segi empat.
Kadang-kadang di bagian badannya juga berbentuk segi empat.
Bagian dagu berbentuk segi
dengan mempunyai tepian sudut yang naik lurus. Garis dagu bagian bawah yang
menyebar naik ke bagian belakang kepala, juga berbentuk segi dengan bidang yang
tegak lurus dan sejajar dengan batang leher.
Hidung yang besar berbentuk
jangkar, dibentuk dengan garis-garis pinggir yang tajam pula. Ada beberapa
patung yang mempunyai pangkal hidungnya bersatu dengan kening dan jatuh lurus
ke bawah, dimana kedua klep hidung menyebar ke kiri dan ke kanan dalam
sudut-sudut yang lancip atau lengkung. Pada bagian mulutnya di cukil lurus
mendatar, sedikit membuka dan melebar naik ke samping pipi kiri dan kanan.
Pada patung Karwar tidak
terdapat sapuan-sapuan lengkung pada pipi, pinggirnya yang tajam, seperti yang
terdapat pada patung Mbis dari Asmad dan Turel Uno dari Jayapura. Walaupun ada,
bekas-bekas ketajaman itu masih nampak juga. Bentuk-bentuk sudut yang pada
Karwar memberi suatu kesan tentang sifat kekerasan dan kekuasaan. Yang dapat
menarik dari bagian kepala patung Karwar ialah semacam bingkai persegi yang
membatasi kepala dan wajah.
Wajah yang seperti
mengintik dari kepala yang menyerupai helm, kepalanya dahulu kala dibuat
berongga untuk mengisi tengkorak manusia. Pada patung arwah ini dibuat ragam
hias atau ornamen pada atribut yang digunakan, seperti : perisai, ular, tongkat
melambangkan seorang pandai besi (kamasan).
K. PERANAN
DAN STATUS PEMATUNG
Seorang pematung atau
pengukir dalam bahasa Biak disebut “Sukan”. Ada keyakinan bahwa orang yang
memiliki keahlian mematung karena ia diberi makan daun tukang (Wui Sukan/ Wui
Esuf Kir Ma Wui Bewor).
Daun keahlian seni ini
adalah milik klen/marga tertentu, oleh sebab itu tidak boleh jatuh keluar
klen/marga lain dan rahasianya tidak boleh bocor/diketahui orang lain. Mereka
percaya dan meyakini bahwa daun sukan itu diberikan oleh Karwar (Moyang).
Rahasia daun sukan ini hanya boleh diturunkan pada salah satu anaknya dan
begitu untuk seterusnya.
Dan yang lebih
diperhatikan adalah patuh pada pantangan-pantangan tertentu. Karena sekali
lalai maka akan menjadi orang nakal atau jahat. Hal ini dalam bahasa Biak
disebut “Npambari” artinya daun magis yang baik itu, membaliknya jadi orang
nakal/jahat.
Pematung Karwar di masa
lampau, mempunyai peranan penting, mereka di bayar mahal untuk membuat sebuah
patung untuk moyang mereka. Pembayaran berbentuk natura, yaitu pembayaran
dengan piring porselin, gelang perak, (sarak), parang dan makanan dari hasil
kebun.
Pematung itu disegani
dalam masyarakat karena pada umumnya memiliki keahlian, membuat ukiran-ukiran megah
dan mengukir perahu-perahu besar. Jadi keahlian mematung dan mengukir merupakan
mata pencaharian baginya.
L. PERKEMBANGAN
BENTUK-BENTUK BARU PADA PATUNG KARWAR
Telah diuraikan di atas,
bahwa bentuk patung moyang ini pada masa lalu, sebelum pemusnahannya,
dipentingkan fungsi religiusnya, disebabkan kepercayaan Karwar yang identik
yaitu menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Tetapi pada periode
revitalisasi (dikembangkan kembali) patung Karwar berfungsi komersial sebagai
hiasan interior, hal ini dapat memberi pengaruh pada bentuk-bentuknya yang
baru, seperti :
a. Perbandingan patung kepala dan
tubuhnya sudah seimbang, tidak bertubuh kerdil lagi.
b. Posisi duduk berlutut, bukan duduk
berjongkok.
c. Mulut yang terbuka lebar, ada beberapa
patung diukir sebuah tengkorak atau patung Karwar kecil di dalam mulutnya.
d. Ornamen karein sebagai atribut pada
puncak kepala diukir dengan posisi melintang dari depan ke belakang kepala.
e. Patung Karwar ada yang di pahat
bersusun menjadi dua sampai empat buah.
f. Ukuran tinggi patung Karwar masa lalu
berkisar 20 cm sampai 50 cm, sekarang sudah mencapai ketinggian 150 cm,
bersusun sudah menjadi 300 cm.
g. Ada beberapa patung yang diukir
matanya terbuka lebar dengan wajah senyum.
M. FAS-FAS KARERIN
Fas-fas
Karerin adalah bentuk-bentuk ragam hias yang terdiri dari goresan-goresan garis
dan warna, yang berpola tersendiri, corak dan keunikan tersendiri.
1.
Variasi Bentuk-Bentuk
Karerin
Variasi
dalam seni Kriya (Ukiran) tradisional Karerin, kalau dilihat secara sepintas lalu, maka akan timbul suatu kesan bahwa
pada umumnya ragam hias Karerin disemua
daerah sub wilayah gaya seni di Teluk Sacrera, adalah sama. Tetapi kalau diteliti secara seksama ternyata ada beberapa variasi yang
membedakan lantaran sub wilayah yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan
dalam variasi itu adalah lain di daerah Biak Numfor, motif-motif Karerin ini
kelihatan besar dalam ukuran secara proposional, termusuk dalam kelompok ini
adalah daerah-daerah yang mendapat pengaruah dan yang ada hubungan kebudayaan
dengan Biak Numfor, yaitu kepulauan
Raja Ampat, Manokwari Doreh, dan Roon, yang pada bagian-bagian motif ini ada beberapa penyajian bagiannya
yang bersambung (berkait berulang) dan putus.
Didaerah Waropen dan
Wondama; motif-motif Karerinnya ini berukuran sedang. Dan di daerah Yapen
ukiran motif Karerinnya ini kelihatan kecil dan halus serta beberapa bagian pengajiannya bersambung dan
tak kunjung putus.
- Biak -
Waropen Wondama
- Yapen
a. Karerin
mempunyai :
a. Spiral Tertutup (samfar
dumepen )
b. Spiral Terbuka (samfar
dai)
c. Spiral Mengingit (samfar
darek)
b. Kukunya
:
a. Kuku Tengah (bei fandu)
b. Kuku Samping (bei andir)
c.
1. Cukilan Krawangan /
butsiran. (fek, fake)
2.
Cukilan Tembus. (fekir)
3. Lubang Cukilan.
(mkir)
- Sp. Tertutup - Sp. Terbuka
- Sp. Menggigit - Kuku Tengah
- Kuku Samping - Cukilan
- Cukilan Tembus - Lubang Cukilan
d. Sifat
dan bentuk Karerin
Motif karerin
bersifat berulang-ulang, bentuk berkait dan tidak berkait.
Motif Berulang Motif berkaitan
Motif Tidak Berkaitan
2.
Sumber Inspirasi dan Latar Belakang
Karerin
Motif Karerin di Wilayah gaya Teluk Saerera,
pada umumnya sama, hanya sedikit terdapat perbedaan pada variasi
menurut beberapa sub daerah. Fek Karerin ini didalamnya terdapat bentuk cukilan
Krawangan dan ada pula yang berbentuk cukilan tembus.
Dengan keunikan Karerin ini, pada umumnya
seniman mengambil sumber ilham (inspirasi) motif ukir Karerin dari Teluk
Saerera adalah sesuai keadaan Kitaran yang selain ada hutan, juga dikelilingi
air atau lautan, sehingga cenderung untuk melukiskan dunia binatang.
Misalnya : Ular Naga (Ikak Korben. Ular naga
adalah binatang raksasa yang diungkapkan sebagai penguasa darat dan Motif
Korben (Naga) itu biasanya diukir pada haluan dan buritan perahu dagang, perahu
hias (Wai ron), dan perahu perang (Wai Mansusu). Dengan suatu, latar belakang
pikiran yang magic religius, maupun sosial ekonomi.
Bahwa perahu besar itu merupakan seekor ular
naga raksasa yang tadinya telah dikuasai dan dikalahkan manusiaI di daratan, tetapi
sekarang turun ke laut untuk menaklukkan kekuatan laut bersarna segala isinya. Jadi selama berlayar tidak
ada bahaya ombak laut yang membawa kecelakaan
dan tidak ada nabi laut (hantu laut) yang mengalahkan pelayaran mereka, untuk
tujuan dagang serta menjalin hubungan
dagang daerah-daerah.
Selain ular raksasa Korben, sebagai legenda
rakyat yang terdapat di beberapa
variasi di Teluk Saerera, (Variasi Waigeo, Wondama, Waropen dan Biak). Adapula motif buaya (Wonggor), yang
mengandung latar belakang falsafah yang
bervariasi pula, tetapi pada umumnya sebagai simbolis keperkasaan atau kepahlawanan
seorang mambri.
Sedangkan simbolis yang lain yang mengandung latar
belakang magis religius terhadap kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan anemisme dan
dinamisme, yakni
kepercayaan terhadap dunia gaib maupan kekuatan alam yang
dianggap dasyat,
adalah simbolis motif yang merupakan penggambaran-penggamban wujud jenis
serangga, seperti Udang Laut (Uryase),
belakang sembah (Inarbur) Biawak (Kasip), dan juga jenis-jenis binatang lainnya.
Selain seni Kriya dalam bentuk cukiran tembus
maupm Krawangan, maka karya patung yang merupakan pusat hidup dan tujuan semua
ciptaan seni tradisional
ini adalah ukiran patung Karwar, yang pada umumnya dikenal sebagai patung
moyang atau patung roh orang mati, yang diukir apabila seseorang meninggal
dunia. Disekitar bagian Karwar ini diberi atribut-atribut tempelan dalam bentuk
ukiran plastic yang menunjukkan peranan atau status seseorang semasa hidupnya.
Tujuan membuat Karwar agar roh orang yang telah meninggal itu jangan
mengembara atau kesasar dialam fanah ini lalu marah terhadap anggota keluarga
dan mungkin menyakiti atau menyebabkan kematian anggota keluarga yang masih hidup.
Ada beberapa unsur motif yang biasanya diukir
pada bagian Karwar adalah suluran-suluran cukilan Krawangan yang menunjukkan
bahwa orang yang meninggal itu pada masa hidupnya adalah seorang seniman
Kriyawan (pengukir), motif tombak atau buaya merupakan, simbolis seseorang
satria (mambri), motif ular simbolis seorang obatan magis. Sedangkan suatu
ukiran patung Karwar yang polos tanpa motif ukiran lain dan sikap duduk memeluk
Iutut serta menopang dagu menunjukkan bahwa seseorang itu semasa hidupnya
sebagai seorang pemikir.
Sebelum tahun 1872 Rum Sram merupaklan pusat
kegiatan upacara-upacara Sakral dan sebagai pusat kegiatan, pendidikan para
remaja dan pengembangan adat istiadat, sekaligus untuk menjauhkan pemuda dari persinahan
sebelum menikah. Pemuda yang masuk Rum Sram telah mempunyai insos (Calon Istri)
yang telah terikat janji dengan orang tua. Jadi pada masa dahulu isteri adalah
pilihan orang tua, yang perlu masuk masa inisiasi.
Di dalam Rum Sram ini sudah ada orang tua
yang diangkat sebagai guru, yang
dapat melatih, mendidik dan mengawasi sipemuda-pemuda tersebut. Para pemuda ini kebanyakan adalah dari
mereka yang hubungan keluarga yang erat
atau terdekat yang sudah berumur : 17 tahun ke atas. Pemuda yang di Desa diwajibkan memasuki Sram Klennya
atau Sram Kampungnya. Pemuda ini dapat kembali kedalam
keluarganya apabila ia telah mengikuti latihan-latihan dan ia telah dianggap
dewasa serta bertanggung jawab didalam masyarakat.
Latihan-latihan yang diadakan di dalam Rum
Sram adalah :
a.
Nyainyian dan lagu (Warwer ma dou)
b.
Tarian perang (Fayaryer)
c.
Mematung (Rakrek Amfianir, Fakfek Karerin)
d.
Latihan berburu/memanah (Samsam)
e.
Mengenalkan upacara-upacara
adat (Fasasnai munara)
Pada
tahun 1876, adalah tahun pemusnahan Rum Sram, Belanda telah menguatkan
pemerintahannya, perkembangan agama Nasrani telah banyak orang Biak menganutnya, sedangkan adat Rum Sram
dianggap sebagai hal yang kuno. Rum Sram satu persatu mulai ditumbang dan
dibakar. Rum Sram hangus terbakar
bersama patung-patung Karwar, Opur Bukor, Perisai, panah dan tombak yang
berlumuran darah.
Rum
Sram, kalau hanya (Mamfawawi Nanem) menceriterakan, mitos Koreri, dongen ular raga, burung kasuari
yang penyayang insane, cerita tentang kakfo ibwui, mansorandak, daun-daun suanggi/undam
manwen. Cerita tentang fanfan manseren nanggi, manggabras.
Rum Sram hanya tinggal nama,
kalau telah pergi hilang bersama
kepribadian orang Bijak/identitas dan adat istiadat serta seni budaya orang Biak. Kau dibakar hangus pertanda
pemusnahan, bukan adaptasi budaya, tetapi Eropanisasi.
Namun masyarakat adat adalah masyarakat yang dilahirkan di Adat, dibesarkan dari Adat, hidup didalam Adat
maka tahu akan Adatnya dan Budayanya disinilah sejarah yang berbicara di masa
(Generasi) sekarang dan akan berbicara
di masa yang akan datang.
Dapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Bermain Poker Online di www,SmsQQ,com
BalasHapusKeunggulan dari smsqq adalah
*Permainan 100% Fair Player vs Player - Terbukti!!!
*Proses Depo dan WD hanya 1-3 Menit Jika Bank Tidak Gangguan
*Minimal Deposit Hanya Rp 10.000
*Bonus Setiap Hari Dibagikan
*Bonus Turn Over 0,3% + 0,2%
*Bonus referral 10% + 10%
*Dilayani Customer Service yang Ramah dan Sopan 24 Jam NONSTOP
*Berkerja sama dengan 4 bank lokal antara lain : ( BCA-MANDIRI-BNI-BRI )
Jenis Permainan yang Disediakan ada 8 jenis :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar 66
Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com