BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kinerja perekonomian Indonesia selama lima tahun terakhir
menunjukkan tren pertumbuhan yang membaik. Perkembangan perekonomian Indonesia
yang positif tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap kegiatan
investasi di Pasar Modal Indonesia.
Menurut Tandelilin (2001), faktor - faktor ekonomi makro
secara empiris terbukti mempunyai pengaruh terhadap perkembangan investasi di
beberapa negara. Bagi investor, berinvestasi di pasar modal merupakan
kesempatan untuk meningkatkan kekayaannya karena berinvestasi di pasar modal
menawarkan tingkat pengembalian (return) yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan deposito perbankan dan memungkinkan investor untuk memilih
investasi sesuai dengan preferensi mereka.
Return yang diharapkan oleh investor dalam melakukan investasinya
dapat berupa defiden dan capital gain. Defiden adalah
pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki sedangkan capital gain adalah selisih antara harga beli dan harga jual saham.
Dalam prakteknya, defiden sering kali digunakan sebagai indikator prospek perusahaan.
Oleh karena itu, perusahaan yang go
public mempunyai kewajiban untuk menginformasikan segala macam bentuk
kebijakan perusahaan yang menyangkut kepentingan para pemegang saham termasuk
mengumumkan pembagian defiden yang akan dibayarkan kepada investor.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalah pada penyusunan makalah ini adalah bagaimana gambaran struktur modal
dan kebijakan defiden.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adah untuk mengetahui gambaran struktur
modal dan kebijakan defiden.
A.
Struktur Modal
Modal adalah hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik
perusahaan dalam pos modal (modal
saham), keuntungan atau laba yang ditahan atau kelebihan aktiva yang dimiliki perusahaan
terhadap seluruh utangnya (Munawir,2001).
Modal pada dasarnya terbagi atas dua bagian yaitu modal
Aktif (Debet) dan modal Pasif (Kredit).
Struktur Modal
adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dan modal sendiri.
Modal asing diartikan dalam hal ini adalah hutang baik jangka panjang maupun
dalam jangka pendek. Sedangkan modal sendiri bisa terbagi atas laba ditahan dan
bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan.
Struktur Modal merupakan masalah penting dalam
pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Untuk mengukur Struktur
Modal tersebut maka dapat digunakan beberapa Teori yang menjelaskan Struktur
Modal dalam suatu Perusahaan.
1.
Teori
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Tradisional berpendapat akan adanya struktur modal
yang optimal. Artinya Struktur Modal mempunyai pengaruh terhadap Nilai
Perusahaan, dimana Struktur Modal dapat berubah-ubah agar bisa diperoleh nilai
perusahaan yang optimal.
2.
Teori
Pendekatan Modigliani dan Miller
Dalam teori ini berpendapat bahwa Struktur Modal tidak
mempengaruhi Perusahaan. Dalam hal ini telah dimasukkan faktor pajak. Sehingga
nilai Perusahaan dengan hutang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai perusahan
tanpa hutang, Kenaikan tersebut dikarenakan adanya penghematan pajak.
3.
Teori Trade-Off
dalam Struktur Modal
Dalam kenyataan, ada hal-hal yang membuat perusahaan
tidak bisa menggunakan hutang sebanyak banyaknya. Suatu hal yang terpenting
adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan
kebangkrutan. Biaya kebangkrutan tersebut bisa cukup signifikan. Biaya tersebut
terdiri dari 2 (dua) hal, yaitu :
a.
Biaya
Langsung
Yaitu, biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya
administrasi, atau biaya lainnya yang sejenis.
b.
Biaya Tidak
Langsung
Yaitu, biaya yang terjadi karena dalam kondisi
kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan
perusahaan secara normal. Misalnya Suplier tidak akan mau memasok barang karena
mengkwatirkan kemungkinan tidak akan membayar.
Biaya lain dari peningkatan hutang adalah meningkatnya
biaya keagenan antara pemegang hutang dengan pemegang saham akan meningkat,
karena potensi kerugian yang dialami oleh pemegang hutang akan meningkatkan
pengawasan terhadap perusahaan. Pengawasan bisa dilakukan dalam bentuk biaya
biaya monitoring (Persyaratan yang lebih ketat) dan bisa dalam bentuk kenaikan
tingkat bunga
4.
Teori
Pecking Order
Teori Trade-Off mempunyai implikasi bahwa manager akan
berfikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya
kebangkrutan dalam penentuan Struktur Modal. Dalam kenyataan empiris nampaknya
jarang manager keuangan yang berfikir demikian.
Secara spesifik, perusahaan mempunyai urutan-urutan
prefensi dalam penggunaan dana. Skenario urutan dalam Teori Pecking Order
adalah sebagai berikut :
a.
Perusahaan
memilih pandangan internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba
(keuntungan) yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan.
b.
Perusahaan
menhitung target rasio pembayaran didasarkan pada perkiraan kesempatan
investasi.
c.
Karena
kebijakan deviden yang konstan, digabung dengan fluktuasi keuntungan dan
kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, akan menyebabkan aliran kas
yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran
investasi pada saat saat tertentu dan akan lebih kecil pada saat yang lain.
d.
Jika
padangan eksternal diperlukan, perusahaan akan mengeluarkan surat berharga yang
paling aman terlebih dulu. Perusahaan akan memulai dengan hutang, kemudian
dengan surat berharga campuran seperti obligasi konvertibel, dan kemudian barangkali
saham sebagai pilihan terakhir.
Teori Pecking Order ini bisa menjelaskan mengapa
perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang lebih tinggi justru mempunyai
tingkat hutang yang lebih kecil.
5.
Teori
Asimetri Informasi dan Signaling
Teori ini mengatakan bahwa dalam pihak pihak yang
berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai
prospek dan resiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih
dari pihak lainnya.
Teori ini
terdiri dari Teori :
a.
Myers dan
Majluf
Menurut Teori ini ada asimetri informasi antara manger
dengan pihak luar. Manager mempunyai informasi yang lebih lengkap mengenai
kondisi perusahaan dibandingan pihak luar.
b.
Signaling
Mengembangkan model dimana struktur modal (penggunaan
hutang) merupakan signal yang disampaikan oleh manager ke pasar. Jika manager
mempunyai keyakinan bahwa prospek perusahaan baik, dan karenanya ingin agar
saham tersebut meningkat, ia ingin megkomunikasikan hal tersebut kepada
investor. Manager bisa menggunakan hutang lebih banyak sebagai signal yang
lebih credible. Karena perusahaan yang meningkatkan hutang bisa dipandang
sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan di masa mendatang.
Investor diharapkan akan menangkap signal tersebut, signal bahwa perusahaan mempunyai
prospek yang baik.
B.
Faktor Yang Mempengaruhi
Struktur Modal
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Struktur
Modal antara lain :
1. Struktur Aktiva (Tangibility)
Kebanyakan perusahaan industri yang sebagian besar
modalnya tertanam dalam aktiva tetap , akan mengutamakan pemenuhan modalnya
dari modal yang permanent yaitu modal sendiri, sedangkan hutang bersifat
pelengkap. Perusahaan yang semakin besar aktivanya terdiri dari aktiva lancer
akan cenderung mengutamakan pemenuhan
kebutuhan dana dengan utang. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh
struktur aktiva terhadap struktur modal suatu perusahaan.
2. Growth Opportunity
Yaitu kesempatan perusahaan untuk melakukan investasi
pada hal-hal yang menguntungkan. Teori Agency menggambarkan hubungan yang
negative antara Growth Opprtunity dan leverage. Perusahaan dengan tingkat
leverage yang tinggi cenderung akan melewatkan kesempatan dalam berinvestasi pada kesempatan investasi
yang menguntungkan.
3. Ukuran Perusahaan (Firm Size)
Perusahaan
besar cenderung akan melakukan diversifikasi usaha lebih banyak dari pada
perusahaan kecil. Oleh karena itu kemungkinan kegagalan dalam menjalankan usaha
atau kebangkrutan akan lebih kecil.
Ukuran perusahaan sering dijadikan indicator bagi kemungkinan terjadinya
kebangkrutan bagi suatu perusahaan, dimana perusahaan dalam ukuran lebih besar
dipandang lebih mampu menghadapi krisis dalam menjalankan usahanya.
4. Profitabiltas
Teori Pecking Order mengatakan bahwa perusahaan lebih
menyukai internal funding. Perusahaan
dengan frofitalitas yang tinggi tentu memiliki dana internal yang lebih banyak
dari pada perusahaan dengan profitalitas rendah.
Perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi investasi menggunakan utang yang relative
kecil (Bringham & Houston, 2001).
Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk
membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan secara
internal. Hal ini menunjukkan bahwa profitalitas berpengaruh terhadap struktur
modal perusahaan. Semakin
tinggi keuntungan yang diperoleh berarti semakin rendah utang.
5. Risiko Bisnis
Risiko Bisnis akan mempersulit perusahaan dalam
melaksanakan pendanaan eksternal, sehingga secara teori akan berpengaruh
negative terhadap leverage perusahaan.
C.
Kebijakan Defiden
Defiden berasal dari bahasa Latin yaitu divendium yang artinya sesuatu untuk
dibagi. Berikut ini beberapa pemaparan mengenai pengertian defiden: Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia defiden diartikan
sejumlah uang sebagai hasil keuntungan yang dibayarkan kepada pemegang saham
(dalam suatu Perseroan).
Dalam dunia ekonomi defiden adalah seluruh laba bersih
setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan pajak yang dibagikan kepada
pemegang saham (pemilik modal sendiri) kecuali ditentukan lain dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
Menurut Bapepam defiden adalah porsi keuntungan perusahaan
yang dibayarkan kepada para pemegang saham. Menurut Darmaji dan Fakhrudin (2001: 9) defiden adalah
pembagian keuntungan yang dihasilkan perusahaan dan tersedia bagi pemegang
saham.
Menurut Husnan dan Pudjiastuti defiden adalah laba yang
diperoleh oleh perusahaan dan tersedia bagi pemegang saham.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa defiden
adalah laba yang diperoleh perusahaan untuk dibagikan kepada pemegang saham.
Dalam melakukan perdagangan saham perusahaan akan
memperoleh laba bersih. Laba bersih (net
earnings) ini sering disebut
sebagai: “Laba yang tersedia bagi pemegang saham biasa” (earnings available to common stockholders) disingkat EAC. Laba
bersih tersebut akan dikenakan pajak sehingga menjadi laba bersih sesudah pajak
(earinings after tax atau EAT).
Manajemen mempunyai dua alternatif perlakuan terhadap EAT ini yaitu:
1. Dibagikan kepada para pemegang saham perusahaan dalam
bentuk defiden.
2. Diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan
(retained earning) untuk membiayai
operasi selanjutnya.
Apabila manajemen memilih alternatif pertama artinya
manajemen harus membuat keputusan tentang besarnnya EAT yang dibagikan sebagai defiden.
Pembuatan keputusan tentang defiden ini disebut kebijkan defiden.
Bambang Riyanto (2001: 281) mendefinisikan kebijakan defiden
sebagai “politik yang bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan
untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai defiden atau untuk
digunakan di dalam perusahaan (laba ditahan).
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003: 390) kebijakan defiden
adalah rencana tindakan yang harus diikuti dalam membuat keputusan defiden.
Menurut Wetson dan Brigham (1990: 198) kebijakan defiden
adalah keputusan untuk membagikan laba atau menahannya guna diinvestasikan
kembali di dalam perusahaan.
Menurut Suad Husnan, kebijakan defiden dapat diartikan:
1. Apakah laba yang diperoleh seharusnya dibagikan atau
tidak.
2. Apakah laba dibagikan dengan konsekuensi harus
mengeluarkan saham baru.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kebijakan defiden adalah kebijakan pembagian pendapatan yang harus diikuti
dalam membuat keputusan defiden (dibagikan/ditahan).
Menurut Lukas Setia Atmaja (2003: 285) rasio antara defiden
dan laba bersih sering disebut sebagai Defidend
Payout Rasio (DPR), yang persamaannya adalah DPR = Total Defidend/ Net
Income. Karena kelebihan laba bersih di atas defiden itu menjadi laba ditahan
maka keputusan DPR inclusive
keputusan mengenai laba ditahan. Sepintas, para pemegang saham akan merasa
senang apabila bagian dari laba bersih yang dibagikan sebagai defiden ini
semakin besar. Akan tetapi, apabila DPR ini semakin besar, berarti laba ditahan
semakin menciut, padahal pendanaan dengan menggunakan laba ditahan (internal financing) ini mempunyai cost of capital yang paling kecil
dibandingkan dengan metode pendanaan lainnya. Dengan demikian keputusan defiden
akan mengacu pada suatu kebijakan (defidend
policy) yang optimal, terutama disesuaikan dengan konsep tujuan
memaksimumkan nilai perusahaan.
Ditinjau dari memaksimumkan rentabilitas modal sendiri,
maka kebijakan defiden perlu memperhatikan rentabilitas aktiva dan tingkat
bunga. Dikatakan demikian, Karen apabila kebijakan menetapkan bahwa laba
ditahan semakin besar berarti perusahaan ini menggunakan metode pendanaan
dengan menambah modal sendiri, yakni pendanaan internal.
Kebijakan defiden merupakan salah satu sumber konflik
antara manajemen dan principal karena
defiden dapat merupakan suatu sinyal yang diberikan perusahaan kepada investor.
Defiden yang dibayarkan secara tunai maupun konversi dengan saham mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan prospek yang baik di masa yang
akan datang.
D.
Teori-teori Kebijakan Defiden
Beberapa kalangan berpendapat bahwa kebijakan
defiden tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan maupun
terhadap biaya modalnya. Jika kebijakan defiden tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan, maka hal tersebut tidak relevan.
Pendukung dari tidak relevannya kebijakan defiden
adalah Modigliani-Miller (MM). Mereka berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan defiden
itu memang tidak mempengaruhi harga saham maupun kemakmuran pemegang saham.
Lebih lanjut MM berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dan asset perusahaan tersebut. Dengan demikian nilai perusahaan
ditentukan oleh keputusan investasi. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh
akan dibagikan dalam bentuk defiden atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai
perusahaan.
MM menyatakan bahwa defiden tidak relevan
berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:
a. Pasar modal sempurna, di mana para investor mempunyai
kesamaan informasi, tidak ada biaya transaksi dan tidak ada pajak.
b. Para investor bersifat rasional.
c. Semua peserta pasar bersifat price-taker.
d. Adanya unsur ketidakpastian bagi arus pendapatan masa
datang dan para investor mempunyai informasi yang sama.
e. Manajer dalam pengambilan keputusannya mengenai produksi
dan investasinya disesuaikan dengan informasi tersebut.
f. Untuk memisahkan pengaruh defiden dan pengaruh leverage, maka semua perusahaan dianggap
memiliki rasio D/S sama.
g. Perusahaan-perusahaan semestinya memiliki kelas risiko
yang sama.
h. Perusahaan dengan produksi yang sekarang memiliki yield yang sama.
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon
(1959) dan John Lintner (1956) yang berpendapat bahwa ekuitas atau nilai
perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran defiden dinaikkan, karena para
investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gain) yang dihasilkan dari laba
yang ditahan dibandingkan seandainya para investor menerima defiden. Gordon dan
Lintner berpendapat bahwa sesungguhnya investor jauh lebih menghargai
pendapatan yang diharapkan dari defiden daripada pendapatan yang diharapkan
dari keuntungan modal.
MM dalam hal ini tidak setuju bahwa ekuitas
atau nilai perusahaan tidak tergantung pada kebijakan defiden, yang menyiratkan
bahwa investor tidak peduli antara defiden dengan keuntungan modal. MM
menamakan pendapat Gordon-Lintner sebagai kekeliruan bird-in-the-hand, yakni: mendasarkan pada pemikiran bahwa investor
memandang satu burung di tangan lebih berharga dibandingkan seribu burung di
udara. Dengan demikian, perusahaan yang mempunyai defidend payout ratio yang tinggi akan mempunyai nilai perusahaan
yang tinggi pula.
Namun menurut pandangan MM, kebanyakan
investor merencanakan untuk menginvestasikan kembali defiden mereka dalam saham
dari perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis, dan dalam banyak kasus,
tingkat risiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam jangka panjang
hanya ditentukan oleh tingkat risiko arus kas operasinya, bukan oleh kebijakan
pembagian defiden.
Ada tiga alasan yang berkaitan dengan pajak
untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai pembagian defiden yang
rendah dari pada yang tinggi, yaitu:
a. Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari
pada pendapatan defiden. Untuk itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian
besar saham) mungkin lebih suka perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba
ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin dianggap menghasilkan kenaikkan
harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya rendah akan menggantikan defiden
yang pajaknya tinggi.
b. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham
terjual, sehingga ada efek nilai waktu.
c. Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia
meninggal, sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang.
Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak
ini, para investor mungkin lebih suka perusahaan menahan sebagian besar laba
perusahaan. Jika demikia para investor akan mau membayar lebih tinggi untuk
perusahaan yang pembagian defidennya rendah daripada untuk perusahaan sejenis
yang pembagian defidennya tinggi.
E.
Jenis-jenis Defiden
Menurut Zaki Baridwan
(1993) deviden yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat terbagi dalam beberapa
jenis, yaitu:
1.
Defiden tunai (cash defiden), yaitu defiden
yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan dikenai pajak pada tahun pengeluarannya. Defiden ini yang paling
umum dan banyak digunakan dalam pembagian saham.
2.
Defiden saham (stock defiden), yaitu defiden
yang dibagikan perusahaan kepada para pemegang saham dalam bentuk saham
perusahaan sehingga jumlah saham perusahaan menjadi bertambah. Jadi, pemberian stock
defiden ini dilakukan dengan cara mengubah sebagian laba ditahan (retained earnings) menjadi modal saham
yang pada dasarnya tidak mengubah jumlah modal sendiri. Namun demikian cash flow perusahaan tidak terganggu
karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang tunai. Peristiwa ini dilakukan jika posisi kas perusahaan atau likuiditas diperlukan oleh
perusahaan. Investor dalam hal ini akan memiliki lebih banyak saham tetapi laba
per lembar saham lebih rendah. Proporsi pemilikan investor tidak mengalami
perubahan.
Dalam membagikan defiden,
perusahaan harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain:
1. Defidend Payout
Ratio industri di mana perusahaan itu berada. Artinya,
perusahaan tidak boleh mengabaikan kebijakan defiden perusahan lain.
2. Kesempatan
investasi. Kebijakan
defiden perusahaan jangan sampai mengorbankan proyek yang dapat meningkatkan value pemegang saham di masa yang akan
datang. Semakin besar kesempatan investasi maka defiden yang bisa dibagikan
akan semakin sedikit.
3. Profitabilitas
dan Likuiditas. Kebijakan defiden perusahaan sebaiknya memperhitungkan
profitabilitas dan likuiditas perusahaan. Aliran kas atau profitabilitas yang
baik bisa membayar defiden atau meningkatkan defiden. Alasan lain pembagian defiden
adalah untuk menghindari akuisisi oleh perusahaan lain.
4. Akses
ke pasar keuangan. Jika perusahaan mempunyai akses ke pasar keuangan yang
baik, perusahaan bisa membayar defiden lebih tinggi. Akses yang baik bisa
membantu perusahaan memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
5. Pertumbuhan
pendapatan perusahaan. Jika pendapatan perusahaan mengalami pertumbuhan, maka
jumlah pembayaran defiden dapat dinaikkan. Sebab dengan adanya tambahan
pendapatan maka defiden dan laba ditahan juga bertambah.
6. Stabilitas
pendapatan. Jika
pendapatan perusahaan relatif stabil, aliran kas di masa mendatang bisa
diperkirakan dengan lebih akurat. Perusahaan semacam itu bisa membayar defiden
yang lebih tinggi. Hal yang sebaliknya terjadi untuk perusahaan yang mempunyai
pendapatan yang tidak stabil. Ketidakstabilan aliran kas di masa mendatang
membatasi kemampuan perusahaan membayar defiden yang tinggi.
7. Prefensi
pemegang saham dan keleluasaan untuk menyimpang dari maksimisasi kemakmuran.
8. Ketersediaan
dan biaya alternatif sumber dana. Apabila biaya modal tinggi, maka penggunaan
laba ditahan akan semakin menarik.
9. Pembatasan-pembatasan yang
diberikan kreditur. Kadang-kadang para kreditur bisa memberikan batasan
mengenai jumlah pembayaran defiden yang boleh dilakukan perusahaan. Tindakan
itu biasanya dilakukan agar perusahaan mampu mengarahkan usahanya dalam
pelunasan hutang.
10. Harapan mengenai kondisi
bisnis pada umumnya. Pada waktu inflasi mungkin laba cenderung naik sehingga
manajemen dapat menaikkan pembayaran defiden. Dengan demikian, dalam keadaan
inflasi, pendanaan melalui pinjaman akan lebih menarik, bandingkan dengan
menggunakan laba ditahan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Modal pada dasarnya terbagi atas dua bagian yaitu modal
Aktif (Debet) dan modal Pasif (Kredit).
Struktur Modal
adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dan modal sendiri.
Modal asing diartikan dalam hal ini adalah hutang baik jangka panjang maupun
dalam jangka pendek. Sedangkan modal sendiri bisa terbagi atas laba ditahan dan
bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan.
Defiden adalah laba yang diperoleh perusahaan untuk
dibagikan kepada pemegang saham.
Kebijakan defiden adalah kebijakan pembagian pendapatan
yang harus diikuti dalam membuat keputusan defiden (dibagikan/ditahan).
Kebijakan defiden merupakan salah satu faktor penting
yang harus diperhatikan oleh manajemen dalam mengelola perusahaan. Hal ini
karena kebijakan defiden memiliki pengaruh yang signifikan terhadap banyak
pihak, baik perusahaan yang dikelola itu sendiri, maupun pihak lain seperti
pemegang saham dan kreditur.
B.
Saran
Dalam mempelajari materi struktur modal dan defiden agar selain menguasai pengertian, konsep, kebijakan,
pendekatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, perlu juga
memperhatikan faktor
yang mempengaruhi struktur modal dan faktor yang mempengaruhi pembagian defiden.