Sabtu, 13 Agustus 2011

MENYINGKAP TABIR SENJA



Aku mengantuk sekali Siang itu. Telah kucoba menahannya, tetapi akhirnya aku tertidur juga di meja belajar. Sekitar pukul 13.00 aku bangun. Aku sadar, besok ulangan Kimia dan Biologi. Sementara aku belum belajar sama sekali. Oh! Mengapa aku tertidur tadi? Dan, besok memuakkan sekali. Pelajaran Bahasa Inggris ada pada jam pertama. Aku bukannya tidak suka dengan pelajaran yang satu ini. Tapi guru itu sangat menjengkelkan. Sudah sering aku dipermalukannya di depan teman¬-temanku. Pernah dia menghukumku untuk tertawa memperlihatkan gigi-gigiku sampai pelajarannya usai, menjengkelkan sekali!
Aku beranjak dari tempat duduk menuju ke kamar mandi. Setelah kubersihkan badanku, aku segera berganti pakaian. Aku lihat di sekelilingku semuanya berantakan. Sering aku merapikan kamar ini, tetapi selalu saja berantakan lagi. Kubuka jendela kamarku yang mulai tadi pagi tidak terbuka. Saat ini kulihat melintas seorang anak laki-laki sebayaku di jalan depan rumahku. Dia memakai baju putih, celana panjang putih, sepatu basket merah, dan rambutnya panjang tergerai sebahu. Lama aku terdiam memandang langkah-langkahnya yang terasa berat itu. Akhirnya dia lenyap di belokan pertama menuju persawahan. Sepertinya aku pernah melihat anak itu, tetapi di mana? Aku mencoba mengingatnya kembali tapi tidak bisa. Kepalaku semakin pusing memikirkannya.
Akhirnya kututup kembali jendela kamarku karena hari telah mulai gelap dan binatang malam pun telah mulai berbunyi. Setelah makan malam kucoba untuk belajar, tetapi tidak satu pun yang aku baca masuk dalam otakku, Aku masih penasaran dengan anak sore tadi. Siapakah dia? Oh .... Tuhan berikan ingatanku. Aku pernah melihatnya dan pernah berbicara dengannya, tapi di mana?
Aku meraba-raba jamku di meja belajar. Astaga! Sudah pukul 07.05. Cepat-cepat aku bangun dari tempat tidur dan segera mandi. Aku lihat jamku kembali, sudah pukul 07.20, berarti sepuluh menit lagi bel tanda masuk akan berbunyi.
Aku merasa lega karena aku tidak terlambat. Sebab kalau terlambat hukumannya bermacam-¬macam mulai dari mengepel lantai kantor, membersihkan WC, bernyanyi di setiap kelas, sampai maraton keliling lapangan basket.
Semua pelajaran telah usai dan bel tanda pulang telah berbunyi. Kami semua berhamburan untuk pulang. Aku malas sekali melangkahkan kakiku. Aku yakin hasil ulanganku hari ini akan rendah sekali karena banyak yang tidak aku selesaikan. Aku bingung! Entah mengapa bisa jadi begini?
Sampai di rumah aku merebahkan badanku. Kisah masa lalu kembali terlintas dalam anganku. Mengapa aku tidak bisa melepaskan Serly yang telah pergi dan tak akan pernah hadir kembali ke dunia ini. Peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu. Dia pergi untuk selamanya, meninggalkan aku sendiri di sini.
Aku pindah ke Bengkulu agar dapat melupakannya. Tetapi kenyataannya sampai saat ini tidak dapat melupakannya. Dia begitu berarti bagiku dan aku sangat mencintainya. Banyak yang kuperoleh darinya tentang arti cinta dan hidup ini. Aku berharap dia lahir kembali untukku walaupun hanya dalam mimpi-mimpiku.
Kini aku memiliki Glory. Dia sangat mirip dengan Serly walaupun tidak semuanya. Serly seorang pendiam, sedangkan Glory periang. Aku tidak tahu apakah aku mencintai Glory atau tidak, sekedar mengobati rinduku pada Serly yang ada di alam sana. Aku tahu Glory sangat mencintaiku dan aku akan berusaha membalasnya dengan cintaku. Tetapi itu butuh waktu yang lama untuk dapat mencintainya karena aku sekarang belum bisa melupakan Serly.
Glory sangat mengerti aku. Dia tidak marah setelah kuceritakan bahwa aku belum bisa melupakan Serly. Bahkan dia selalu menasihatiku bahwa yang mati tidak akan hidup kembali. Kata-kata itu bukan hanya aku dengar dari Glory, tapi juga dari sahabat-sahabatku. Namun, mungkin mata hatiku telah buta sehingga aku tidak pernah dapat mengerti kata-kata itu.
Panggilan suara ibuku menyadarkanaka dari lamunan. Aku segera bangkit dan menghampiri ibu.
“Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Kenapa belum kau ganti pakaian sekolahmu? Besok kan masih bisa kau pakai”.
“Ibu mau ke rumah Bu Nanik, ada arisan di sana. Katakan pada ayahmu kalau pulang nanti dan jangan lupa siram bunga di teras depan”.
Aku berlalu dari hadapan ibu tanpa menjawab. Hampir tiap hari aku sendiri. Ibu selalu sibuk dengan teman-temannya. Sedangkan ayah pulang sore, terkadang juga malam. Aku hanya berteman televisi dan rumah ini. Ingin aku ungkapkan keluhanku pada mereka, tetapi kurasa akan percuma saja karena ibu pasti akan menyangkalnya.
Hari ini aku harus kembali menyiram bunga-bunga itu. Membosankan! Ini adalah bunga kesayangan ibu. Ingin sekali aku menendang atau membuangnya jauh-jauh agar aku tidak menyiramnya lagi. Aku sudah bosan mengurus bunga ini. Sudah dua minggu aku merawatnya, sedangkan Pak Ali akan pulang dua minggu lagi dari kampungnya. Dia adalah pembantu di rumah kami.
Selesai menyiram bunga aku duduk di depan pintu sambil memandang ke jalan yang sunyi di depan rumahku. Maklumlah sepanjang jalan itu masih sedikit sekali dibangun perumahan dan sekarang jalan memotong telah dibangun sehingga membuat jalan itu semakin sepi dilalui kendaraan atau pejalan kaki.
Aku berhenti memandang ke jalan. Anak itu kembali melintas. Cepat-cepat kukunci pintu, kemudian aku mengikutinya. Aku mengambil jarak agar ia tidak curiga bahwa aku mengikutinya. Dia terus berjalan dan akhirnya berhenti di jembatan Campukan. Campukan adalah tempat bertemunya tiga aliran sungai di jembatan itu sehingga tempat itu kusebut Campukan. Aku ingat duduk di jembatan itu sambil memandang ke gunung yang menjulang tinggi menghadapi ke Campukan. Aku sering menyepi di sana untuk menghilangkan semua keresahan yang melanda jiwaku. Aku merasa terhibur bila duduk di sana karena tempat itu indah bagiku. Gemercik airnya membuatku lupa akan semua keresahanku. Dan sawah-sawah itu, indah sekali!
Sejenak ia menoleh ke belakang, kemudian duduk di jembatan itu menghadap ke Campukan. Aku tak dapat melihat dengan jelas wajahnya. Aku berhenti berpura-pura membetulkan sandalku yang seolah-olah putus. Dia tidak memperhatikan aku, mungkin jarak kami cukup jauh, sekitar lima puluh meter sehingga dia tidak merasa curiga bahwa aku mengikutinya.
Dia mengibaskan rambut yang menutupi wajahnya ke belakang. Kemudian dia mengambil sesuatu dari saku celananya, ternyata selembar kertas. Dia membuka dan melebarkan kertas yang dilipat itu. Kemudian aku lihat bibirnya bergerak. Mungkin dia membaca tulisan di kertas itu. Sayang aku tidak bisa mendekat, hingga tidak tahu apa yang dibacanya.
Dilipatnya kembali kertas itu. Kemudian dia memandang ke arah gunung. Aku semakin penasaran dengan anak itu, apa yang sedang dipikirkannya? Dan apa yang dibacanya tadi? Kuharap aku mengetahuinya nanti, entah esok atau lusa.
Hari mulai gelap, aku bergegas pulang. Aku lihat anak itu masih duduk di situ. Aku terus melangkah pulang. Pada belokan pertama menuju ke rumahku aku berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Ternyata anak itu belum beranjak dari tempatnya. Dia masih memandang gunung itu, seolah-olah ingin menyelaminya.
Sampai di rumah aku melihat ayah berdiri di depan pintu menungguku. Cepat-cepat aku bukakan pintu dan ayah tersenyum padaku.
“Baru pulang, Yah?”
“Sudah lama. Ke mana ibumu?”
“Ke rumah Bu Nanik, arisan katanya?”
Ayah tampak begitu lelah. Dia langsung merebahkan badannya di tempat tidur. Aku berdiri di pintu kamarnya.
“Apa yang kau lakukan di Campukan tadi?” tanya ayah.
“Bermain! Di rumah sepi, tidak ada teman”.
“Bukankah di Campukan juga sepi?”
“Tidak! Di Campukan lebih baik daripada di rumah ini”.
Ayah terdiam, Kemudian memejamkan matanya. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Aku segera berlalu untuk mandi.
Setelah selesai belajar aku menemani ayah di ruang tamu.
“Ibu sedang apa, Yah?”
“Mengetik resep-resep yang akan dipraktekkan besok”.
“Oh iya, tadi ada surat dari pamanmu. Rini akan datang ke sini. Tolong kau jemput dia di terminal hari Kamis nanti”.
“Katanya Rini akan kuliah, Yah?”
“Tidak lulus UMPTN. Dia memaksakan diri untuk maju di jurusan Arsitek, tetapi gagal. Katanya akan ikut lagi tahun depan”.
Rini memang kemauannya keras, bila sesuatu telah menjadi kemauannya, maka dia tidak akan mengubahnya. Walaupun Rini lebih tua dariku tapi dia tak mau aku memanggilnya kakak. Aku menurut saja memanggilnya Rini, katanya lebih akrab. Namun aku merasa risih bila memanggil namanya di hadapan paman dan bibi. Jadi kalau ada mereka berdua, aku memanggilnya kakak.
Sekarang pukul 04.55, sebentar lagi anak itu akan lewat di sini. Itu dia! Aku mengikutinya lagi. Kurasakan dia akan menuju Campukan. Benar dugaanku, dia kembali duduk di jembatan itu.
Aku makin penasaran dengan anak itu. Mengapa ia selalu duduk di situ dan apa yang dibacanya? Aku akan berusaha mendekatinya besok dan aku menemukan cara untuk itu. Aku segera pulang. Tapi mengapa anak itu tidak pernah melintas pulang lewat depan rumahku? Kurasa tidak mungkin rumahnya di barat karena tidak ada perumahan di sana. Rumahku adalah rumah terakhir di jalan ini. Di manakah rumahnya?
Sepulang sekolah aku langsung ke rumah Erwin untuk meminjam kail.
“Tumben! Baru sekarang kamu mau memancing. Biasanya kamu selalu tidak mau kalau aku ajak memancing”.
“Sudahlah, jangan banyak bicara. Cepat berikan kailmu. Aku akan memancing ikan yang sangat besar bagiku”.
“Boleh aku ikut? Aku juga ingin ikan besar itu”.
“Sudahlah, akan kubagi nanti ikan itu kalau kau mau. Aku akan memancingnya sendiri. Sampai besok, Win”.
Sayup-sayup kudengar Erwin mengumpat.
“Mengumpatlah, suatu saat kau akan tahu ikan besar itu”.
Aku segera menyiapkan diri untuk pergi memancing. Aku harus mendahului anak itu. Dia biasanya lewat di sini sekitar jam 05.00. Aku harus segera berangkat. Aku duduk memancing membelakangi tempat biasanya anak itu duduk.
Dia datang, aku berpura-pura tidak memperhatikannya. Dia duduk menghadap Campukan. Kemudian diambilnya kertas dari saku celananya dan dia membacanya. Sangat jelas aku dengar, ternyata dia membacakan sebuah puisi.
Aku kini berdiri di padang gersang penuh ilalang
Haus kering tanpa penawar
Sementara yang kucari belum lagi terbayang
Berjuta kenyataan telah kubuang
Demi satu harapan yang terkubur hilang
Tapi mengapa aku tak juga sadar
Akan harapan yang tak pernah akan datang
Aku mencoba menghayati puisi yang dibacanya. Sepertinya dia menyesal dalam kesedihan, tetapi dia tidak mampu keluar dari kesedihan itu karena jiwanya yang lemah. Kira-kira seperti itulah arti puisi yang dibacanya. Atau mungkin dia mempunyai arti lain. Sebentar dia melihat kertas itu, kemudian dimasukkannya kembali ke dalam saku celananya.
Ada yang menarik-narik mata kailku. Cepat kuangkat kailku. Ternyata ikan yang besarnya hanya sejari jempol kakiku, kecil sekali. Kemudian aku meletakkannya di ember kecil yang kubawa dari rumah.
Aku berpindah tempat mendekati anak itu, lalu kulemparkan mata kailku ke Campukan, kemudian aku duduk di sampingnya.
“Sendiri?” tanyaku.
“Ya, untuk selamanya”.
Aku diam sejenak, apa maksud untuk selamanya?
“Karena aku hanya bayangan dari yang nyata. Aku hanya mengikuti yang nyata. Kami sama-sama mempunyai peluang, tapi peluang pertama untuk yang nyata. Kini aku sedang menunggu peluangku. Yang nyata terkurung dalam lingkaran, dia tahu bahwa dia mempunyai peluang untuk bebas dari lingkaran. Tetapi dia tidak tahu menggunakan peluang itu. Aku berharap dia bebas dari lingkaran itu. Karena kebebasannya adalah peluang bagiku.”
Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan barusan. Seperti kata-kata dalam puisi. Aku coba untuk mengerti tapi tidak bisa. Kata-kata itu membingungkanku. Dia menoleh ke arahku dan mengulurkan tangannya.
“Siapa namamu?” tanyanya.
Aku menjelaskan siapa namaku. Tapi aneh saat kutanya siapa namanya dia hanya tersenyum.
“Kamu orang baru di sini ya?” tanyaku.
“Tidak, aku di sini sudah satu tahun yang lalu”.
Berarti sama denganku. Aku juga pindah ke sini satu tahun yang lalu.
“Asalmu dari mana?” tanyaku lagi.
“Dari Jawa Timur”.
“Jawa Timurnya di mana?” Aku bertanya kembali.
“Di Jember, rumahku tepat di belakang Terminal Arjasa”.
“Dan rumahmu yang sekarang di mana?”
“Bolehkah jika aku katakan bahwa rumahku sekarang adalah rumahmu saat ini”.
Aneh! Apakah dia main-main? Kurasa tidak. Karena kulihat wajahnya tampak serius. Aku semakin tak mengerti dengan anak itu.
“Boleh, tidak apa-apa,” kataku sambil tersenyum.
Kemudian ia mengambil ember kecil yang kuletakkan di sampingku.
“Kasihan ikan ini. Dia masih terlalu muda, masih banyak kesempatan yang harus dia terima dan dia kerjakan. Jadi tolong lepaskanlah ikan ini. Lagipula kamu tidak memerlukannya.” Dia meletakkan kembali ember itu.
Aku menuruti kata-katanya. Kuambil ikan itu dari ember dan kulemparkan ke Campukan. Kemudian kuletakkan juga kailku.
“Lihatlah, dia baru mendapatkan peluangnya”.
Diam-diam aku memperhatikan wajahnya. Aku rasa memang aku pernah bertemu anak ini sebelumnya. Aku ingat sekarang, bukankah anak ini yang aku temui duduk di stasiun lama, yaitu stasiun yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tidak salah lagi dialah anak ini.
Setelah kepergian Serly, aku sering menyendiri di stasiun lama karena aku dan Serly sering ke sana. Aku menyendiri di sana untuk mengenang hari-hari indah kami dulu.
Dan anak itu juga sering ada di sana, bahkan aku pernah melihatnya menangis. “Kenapa kau menangis?” tanyaku waktu itu.
“Kekasihku telah pergi untuk selamanya dan tak kembali lagi ke dunia ini. Mengapa Tuhan memanggilnya di saat cinta kami membara? Mengapa dia tidak memanggilku juga? Mengapa? Ini sangat tidak adil”.
Dia mengepalkan tangannya kemudian ia tinju gerbang tua yang ada di hadapannya. Aku lihat kembali bulir-bulir air mata mengalir di pipinya, kasihan sekali! Tetapi bukankah nasibku juga tidak jauh berbeda dengannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar