Selasa, 11 Desember 2012

MAKALAH PANCASILA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan pertolongannya sehingga penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tapat pada waktunya dengan judul “Pemimpin Berjiwa Pancasila”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan di sebabkan karena keterbatasan penulisa, sehingga mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Makalah ini.
Semoga penulisan Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga bagi pembaca sekalian.


Manokwari,    Desember 2012
Penulis




















DAFTRA ISI


Halaman Sampul............................................................................................................ i
Halaman Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Halaman Daftar Isi........................................................................................................ iii

BAB I         PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang...................................................................................... 1
B.   Permasalahan ...................................................................................... 2
C.   Tujuan Penulisan ................................................................................ 2

BAB II        PEMBAHASAN
A.   Hakikat Berjiwa Pancasila................................................................... 3
B.   Pemimpin Berjiwa Pancasila.............................................................. 4

BAB III       PENUTUP
A.   Kesimpulan ........................................................................................... 7
B.   Saran .............................................................................................. ...... 7

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................














BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Menghangatnya wacana tentang Pancasila belakangan ini, setidaknya mengandung dua makna. Pertama, terjadinya pengingkaran terhadap Pancasila yang semakin parah dalam wujud korupsi, kebijakan anti rakyat, diskriminasi, kekerasan, radikalisme agama, dan ketidakadilan. Kedua, adanya upaya mengingatkan dan mengembalikan Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dalam aspek hukum, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasi, pertahanan keamanan dan hubungan internasional. 
Bercermin dari sejarah, lahirnya Pancasila sebagai dasar negara pada 1 Juni 1945 tidak terlepas dari embrio sebelumnya di mana pada awal abad ke-20, muncul semangat nasionalisme kaum terpelajar untuk  melawan kolonialisme dan imperialisme. Kesadaran ini menyebar melalui pembentukan organisasi pergerakan, kelompok-kelompok studi dan partai politik. Mereka merasa senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah dan memiliki tekad merebut kemerdekaan dari penjajah kolonialisme asing. Mereka menginginkan penentuan nasib sendiri (self-determination) dan pembentukan pemerintahan sendiri (self-government). Pada tahap inilah mereka membayangkan sebuah komunitas yang bernama "Indonesia".
Kemudian, untuk mendirikan sebuah bangsa, tentu harus memiliki dasar pemersatu dan sekaligus rel kehidupan berbangsa. Para pendiri bangsa ini pun bermusyawarah dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945 guna merumuskan dasar negara Indonesia merdeka. Sidang tersebut dihadiri anggota BPUKI yang terdiri dari berbagai idiologi, suku, agama, dan golongan yang berbeda.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno merumuskan lima prinsip yang menjadi titik persetujuan, yakni: (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme, atau Perikemanusiaan; (3) Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; (5) Ketuhanan yang Berkebudayaan. Dia menyebut lima prinsip tersebut dengan Pancasila. Meskipun demikian, rumusan Pancasila versi pidato Bung Karno ini kemudian disempurnakan oleh Panitia Sembilan. 
Setelah kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, besoknya (18 Agustus) Pancasila disahkan sebagai dasar negara. Sehingga dalam mengisi kemerdekaan, Indonesia menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang menjadi rambu-rambu kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, Pancasila adalah karya bersama untuk mempersatukan rakyat Indonesia dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana halnya semua bangsa di dunia ini, pasti mempunyai dasar, pandangan hidup dan kepribadian bangsa. "Setiap bangsa mempunyai suatu jiwa. Demikian juga bangsa Indonesia yang dalam perjalanan sejarahnya digerakkan oleh jiwa. Jiwa yang disebut dengan keperibadian bangsa, termanifestasi dalam Pancasila. Para pendiri bangsa  paham betul bahwa Pancasila adalah rumah bersama rakyat Indonesia yang majemuk.
Namun cita-cita itu seringkali dikubur oleh kepentingan politik-ekonomi segelintir orang. Buktinya sejak Indonesia merdeka, justru terjadi pengingkaran terhadap Pancasila yang dilakukan negara (pemerintah) itu sendiri. Pengingkaran ini semakin nyata ketika pemerintahan orde baru berkuasa (1966-1998). Pengingkaran itu dalam wujud korupsi, pembangunan yang menyengsarakan rakyat, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak pada rakyat.  Meskipun di atas kertas dinyatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum dan fondasi bangsa, tetapi dalam praktiknya terjadi pengingkaran secara struktural.

B.   Pemasalahan
Melihat uraian latan belakang di atas, maka dirumuskan masalah yaitu “Bagaimana gambaran tentang pemimpin berjiwa pancasila.

C.   Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang pemimpin berjiwa pancasila.



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Hakikat Berjiwa Pancasila
Setiap pemimpin di Indonesia harus berjiwa Pancasila. Pemimpin harus mampu menghayati nilai-nilai Pancasila serta memahami makna Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, segala kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin, dasarnya adalah nilai-nilai Pancasila demi kepentingan rakyat. Selain itu, seorang pemimpin juga harus paham mengenai pluralitas agar implementasi Pancasila dapat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang notabene berbeda satu sama lainnya.
Bangsa Indonesia, harus dididik dengan ideologi, yakni Pancasila. Hal ini penting agar pemimpin-pemimpin masa depan Bangsa Indonesia kelak mampu merubah keadaan menjadi lebih baik. Jangan hanya karena sebuah perbedaan lalu kita saling menindas. Apa pun agamanya, warna kulitnya, kita adalah sama-sama manusia yang butuh oksigen, butuh makan. Itulah persatuan yang harus dibangun.
Bangsa Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang berjiwa Pancasila. Masalah yang akhir-akhir ini silih berganti menerpa bangsa mulai ekonomi, politik, sosial, hingga budaya termasuk masalah pertahanan dan keamanan, hanya bisa diatasi oleh pemimpin yang berjiwa Pancasila.
Sifat pemimpin berjiwa Pancasila salah satunya adalah tegas, tidak sombong, suka bermusyawarah, menjunjung prinsip keadilan dan kemanusiaan demi kesejahteraan masyarakat.“ Pada masa Orde Baru,kita semua dikenalkan dengan Pancasila oleh pemimpin bangsa ini.Tapi sisi lain, yang mengenalkan Pancasila kepada kita diduga terlibat korupsi. Jadi pada masa reformasi,masyarakat menjadi tidak kenal lagi nilai- nilai Pancasila. 
Padahal, Pancasila adalah fondasi bangsa ini. Apabila pemimpin bangsa ini berjiwa Pancasila, pasti suka bermusyawarah,tidak membedakan suku, ras, dan agama. Pemimpin itu tidak bisa dilahirkan dari atas,tapi harus diusulkan dari rakyat. Pemimpin itu harus bersifat seperti matahari, bulan, dan bintang. Sinar matahari memancar ke seluruh penjuru bumi. Bulan menerangi di malam hari dan sifatnya lembut. Bintang mampu menjadi petunjuk arah bagi yang tersesat.
Untuk saat ini negara telah mengalami krisis kepemimpinan. Ada tiga tolok ukur yang harus dimiliki pemimpin bangsa ini. Pertama, moralitasnya harus baik. Kedua, sanggup menjadi teladan bagi rakyatnya. Ketiga, memiliki sikap berani dan tegas dalam mengambil keputusan.
Contoh kecil tentang moralitas pemimpin, mestinya jika ada seorang pemimpin yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, pencabulan, penipuan, dan pemalsuan, maka memiliki jiwa malu dan segera mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, fakta yang terjadi sekarang justru terbalik.“Pejabat yang bersangkutan memilih terus mempertahankan jabatannya. Pemimpin itu selalu berdalih pada asas praduga tidak bersalah. 

B.   Pemimpin Berjiwa Pancasila
Ketika masa orde baru, di lembaga pendidikan mulai sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi selalu akrab dengan mata pelajaran "Pendidikan Moral Pancasila (PMP)". Juga, masih ada penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang tertuang dalam TAP MPR Nomor II/1978, wajib diikuti masyarakat. Tetapi Pancasila tidak hidup dan nyata dalam kehidupan berbangsa. Seseorang bisa saja menghafal butir-butir Pancasila, tetapi tidak memahami dan menyadari makna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 
Sekarang di era reformasi ini, ketika kran kebebasan dibuka, masyarakat tidak dibebani lagi dengan indoktrinisasi negara sebagaimana dilakukan pada masa orde baru. Kini, masayarakat sudah bebas bersuara. Bahkan ada sebagian kecil masyarakat yang memperdebatkan lagi Pancasila dan menawarkan idiologi yang lain untuk bangsa ini. Seolah-olah Pancasila dianggap tidak mampu bahkan gagal mewujudkan cita-cita kemerdekaan. 
Tak ada idiologi lain bagi Indonesia untuk mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa, kecuali Pancasila. Pancasila adalah konsep final. Oleh sebab itu, maraknya berbagai persoalan bangsa bukan berarti gagalnya Pancasila. Kesalahan bukanlah terletak pada Pancasila sebagai dasar negara, tetapi terletak pada pemimpin, pejabat, dan birokrat di negeri ini yang mengingkari Pancasila. Gara-gara ulah sebagian elite yang menyalahgunakan kekuasaan, rakyat banyak yang menjadi korban dan tumbal kekuasaan. Akhirnya negara ini salah kelola yang pada gilirannya menghadirkan kesenjangan sosial, kemiskinan, pengangguran, konflik, dan kerusakan alam.
Oleh sebab itu, meskipun secara de yure kita sudah merdeka, tetapi secara de facto mayoritas rakyat belum merasakan kemerdekaan sejati. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 Pancasila) hanyalah mimpi belaka. Buktinya: separuh penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (versi Bank Dunia), puluhan juta petani tak bertanah dan sebagian menjadi petani gurem, puluhan juta buruh hidup dalam ketertindasan, dan jutaan anak tak bisa mengecap pendidikan. Sementara segelintir orang di republik ini menjadi orang terkaya di dunia, segelintir orang menguasai jutaan hektar tanah dan aset negara lainnya, dan beberapa elite berpesta pora di atas penderitaan rakyat.
Itu semua terjadi karena fondasi dan arah pembangunan bangsa ini tidak lagi Pancasila, melainkan neoliberalisme. Dalam sistem neoliberalisme, siapa yang kuat maka dialah yang menjadi pemenang. Kran neoliberalisme ini dibuka melalui perundang-undangan yang memuluskan arus kapitalisme global masuk di negeri ini. Sehingga tak mengherankan ketika aset-aset negara dikuasai oleh segelintir orang yang dilindungi oleh negara. 
Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur bahwa segala kekayaan alam Indonesia dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hanya ada di atas kertas. Dalam praktiknya, segala kekayaan itu dikuasai kapitalis (asing maupun dalam negeri), sementara rakyat menjadi buruh-buruh dengan upah murah.
Selama pemimpin, pejabat dan birokrat di negeri ini masih bermental "terjajah" dan berperilaku korup, maka keadilan sosial hanyalah mimpi kosong. Berarti kuncinya ada pada pemimpin di negeri ini. Oleh sebab itu, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berjiwa Pancasila. Pemimpin yang mengamalkan Pancasila melalui kebijakan-kebijakan yang berkeadilan sosial. Semoga dengan semakin cerdasnya rakyat dalam berpolitik, turut berkontribusi dalam menentukan pemimpin yang berkarakter dan berintegritas sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan sehingga cita-cita kemerdekaan dapat diwujudukan sesuai dengan Pancasila.












































BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berjiwa Pancasila. Pemimpin yang mengamalkan Pancasila melalui kebijakan-kebijakan yang berkeadilan sosial. Dengan demikian, bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan sehingga cita-cita kemerdekaan dapat diwujudukan sesuai dengan Pancasila.

B.   Saran
Diharapkan para pemimpin di negeri ini agar selalu mengikuti makna yang terkandung dalam pancasila, demi terwujudnya cita-cita pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar